Minggu, 30 Desember 2012

Sastra Minangkabau


Karya Sastra Minangkabau
Karya sastra Minangkabau adalah karya seni yang menggunakan bahasa Minangkabau sebagai mediumnya. Isinya membicarakan tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan masyarakat dan budaya Minangkabau.

Ciri umum karya sastra Minangkabau:
1. Menggunakan bahasa Minangkabau.
2. Berlatarbelakang budaya Minangkabau.
3. Berbicara tentang manusia dan kemanusiaan Minangkabau.
4. Berbicara tentang hidup dan kehidupan masyarakat Minangkabau.
5. Diwarnai oleh kesenian Minangkabau.

Di dalam berbagai karya sastra Minangkabau akan sangat banyak ditemukan kata-kata adat. Ragam kata-kata adat itu misalnya:

I.     Kato petatah
Yaitu kata-kata yang mengandung patokan hukum atau norma-norma yang bisa menjadi tuntunan kehidupan.
Contoh : hiduik dikanduang adat

II.  Kato petiti
Yaitu kata-kata yang bisa menjadi jembatan atau jalan yang bisa ditempuh dengan lebih baik untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Kato petiti digunakan untuk menjelaskan kato petatah.
Contoh : adaik hiduik tolong-manolong, adaik mati janguak-manjanguak
adaik lai bari-mambari, adaik tidak basalang tenggang
karajo baiak baimbauan, karajo buruak bahambauan
(kato petiti untuk menjelaskan “hiduik dikanduang adat”)

III.             Mamangan
Yaitu kalimat yang mengandung arti sebagai pegangan hidup, sebagai anjuran ataupun larangan.
Contoh : anak dipangku, kamanakan dibimbiang (anjuran)
gadang jan malendo, cadiak jan manjua (larangan)

IV.             Pituah
Yaitu kalimat yang mengandung ajaran nasihat yang bijaksana.
Contoh : bakato marandah-randah, mandi di ilia-ilia
lamak dek awak, katuju dek urang

V.  Pameo
Yaitu kalimat yang jika dilihat artinya tampak berlawanan, bahkan tidak mungkin terjadi.
Contoh : duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang

VI.             Kieh
Yaitu kata-kata kiasan yang berisi sindiran.
Contoh : “ndeh, kuciang ko, banyak bana makan, manangkok mancik indak amuah!”
Karya sastra Minangkabau dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu puisi dan prosa.

VII.Puisi
a.       Pasambahan adat >> teks pidato yang menggunakan gaya bahasa sastra
b.      Pantun >> terdiri dari sampiran dan isi
c.       Talibun >> pantun yang terdiri dari 6 – 12 baris
d.      Seloka >> pantun 4 baris yang terdiri dari beberapa untai
e.       Gurindam >> saripati kata yang tersusun dalam 2 dan 4 baris

VIII.       Prosa
a.       Tambo >> Sejarah yang dituangkan dalam bahasa sastra Minangkabau
b.      Kaba >> Cerita-cerita yang mengandung nilai moral

(sumber http://ukm.unit.itb.ac.id/index.php?opti...&Itemid=9)

Rabu, 26 Desember 2012

Karapan Sapi: Madura Punya Tradisi



Karapan Sapi adalah acara khas masyarakat Madura yang di gelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September, dan akan di lombakan lagi pada final di akhir bulan September atau October. Pada Karapan Sapi ini, terdapat seorang joki dan 2 ekor sapi yang di paksa untuk berlari sekencang mungkin sampai garis finis. Joki tersebut berdiri menarik semacam kereta kayu dan mengendalikan gerak lari sapi. Panjang lintasan pacu kurang lebih 100 meter dan berlangsung dalam kurun waktu 10 detik sampai 1 menit.

Selain di perlombakan, karapan sapi juga merupakan ajang pesta rakyat dan tradisi yang prestis dan bisa mengangkat status sosial seseorang. Bagi mereka yang ingin mengikuti perlombaan karapan sapi, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melatih dan merawat sapi-sapi yang akan bertanding sebelumnya. Untuk membentuk tubuh sepasang sapi yang akan ikut karapan agar sehat dan kuat, dibutuhkan biaya hingga Rp4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya. Sapi karapan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan.

Bagi masyarakat Madura, Kerapan dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Untuk saat ini, selain sebagai ajang yang membanggakan, kerapan sapi juga memiliki peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi, yaitu sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan, peran magis religious; misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu. Terdapat seorang 'dukun' yang akan 'mengusahakan'nya. Pada setiap tim pasti memiliki seorang 'dukun' sebagai tim ahli untuk memenangkan perlombaan.

Prosesi awal dari karapan sapi ini adalah dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura, yaitu Saronen. Babak pertama adalah penentuan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah, sedang babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang

Sejarah Lompat Batu Nias

by 

Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam . Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja.

Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
[Image: 186544niasstonejumping0.jpg]
Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dsb. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi ! 2 meter.
Dahulu, melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: Masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh.
Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya.
Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi.
Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Itu juga makanya, para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Di satu sisi, mereka meminta dan bahkan ada yang setengah memaksa wisatawan untuk menyaksikan atraksi ini, namun di sisi lain mereka tidak mau melompat tanpa dibayar. Bahkan ada juga yang meminta sampai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 sekali melompat, tergantung bargaining. Para pelompat telah mempunyai kelompok dan jaringan supaya tidak menjual murah.
Sekarang ini harganya berkisar Rp 50.000 sekali melompat. Namun kalau wisatawan tidak menunjukkan minat dan menolaknya, para pelompat pun akhirnya dapat menerima harga yang lebih murah. Dari pada tidak dapat uang, lebih bagus melompat saja.
Tradisi lompat batu yang telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler dan mampu membuat Nias dikenal oleh suku bangsa lain, kelihatannya sudah kurang digemari oleh generasi baru karena tingkat kesulitan untuk menguasainya. Selain itu, atraksi lompat batu juga sudah berubah fungsi. Di daerah-daerah tujuan wisata, para pemuda baru mau melompat, kalau bayarannya sesuai. Sudah tidak ada lagi olah raga melompat batu yang gratis. Yang ada adalah lompat batu komersil. Karena itu, dikuatirkan, jika turisme mati, maka tradisi lompat batu akan punah.
[Image: lompat-batu.gif]
Jika Lompat batu punah, rumah adat rusak, megalit hilang dan dijual, burung Beo Nias punah, nilai-nilai budaya masyarakat sebagai  sosial yang luhur mati, apa lagi yang menjadi daya tarik Nias? Apa lagi keunikannya? Semuanya hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang sulit diulang kembali

Selasa, 25 Desember 2012

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Chardophone

By

Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Jenis instrumen musik keluarga chardophone yang berkembang di Minangkabau adalah Rabab (rebab). Pertunjukannya sendiri disebut barabab yang berarti bercerita atau berkaba dengan iringan lagu dan bunyi rebab yang digesek oleh pencerita (Syamsudin, 1993:6). Pertunjukan rebab biasanya dilakukan disebuah ruangan tempat orang banyak dapat duduk berkumpul menyaksikan pertunjukan. Sering juga dilakukan di ruang tamu rumah orang yang mengadakan pesta keramaian. Ada tiga bentuk/jenis rebab yang berkembang di Minangkabau, yaitu:
Rebab Darek
Jenis instrumen musik berdawai (pakai snar) yang tumbuh dan berkembang terutama di daerah daratan Minangkabau (luhak nan tigo). Pemberian nama darek pada intrumen ini untuk membedakan dengan jenis musik berdawai lainnya yang juga berkembang di Minangkabau. Jika ditinjau dari sudut fisik serta bahannya, intrumen rebab darek terdiri atas tiga bagian.  Pertama bagian badan yang berfungsi sebagai ronga resonansi yang terbuat dari kayu nangka yang dibentuk sedemikian rupa dan dilapisi dengan kulit kambing atau kulit sapi. Kedua, bagian leher yang terbuat dari bambu atau talang. Biasanya dipilih talang yang sudah tua agar tidak mudah pecah. Ketiga, bagian kepala berupa kayu yang diukir. Di samping kiri dan kanan kepala rebab dipasang alat pemitar tali rebab yang berjumlah 2 (dua) buah. Sebagai penimbul bunyi, dipasang dua buah tali yang terbuat dari benang. Penggesek rebab terbuat dari kayu dan bubat (ekor kuda) atau nilon.
Fungsi dari instrumen rebab darek ini adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang, khususnya dendang-dendang yang berkembang di daerah darek Minangkabau. Pertunjukan rebab darek herat kaitanya dengan upacara adat seperti: pengangkatan penghulu, mantenan, dan acara-acara yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Rebab Pariaman
Jenis insrumen musik berdawai yang tumbuh dan berkembang khususnya di daerah Pesisir Barat Minangkabau, tepatnya di daera Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Instrumen rabab Pariaman hampir sama bentuknya dengan rabab darek, hanya bahan pembuatannya yang berbeda. Badan rabab Pariaman terbuat dari tempurung kelapa; tangkai rabab terbuat dari bambu; mempunyai 3 (tiga) buah senar terbuat dari benang, serta penggesek rebab terbuat dari rotan dan sebagai talinya dipakai bulu ekor kuda (bubat).
Fungsi rebab Pariaman adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang, terutama jenis dendang kaba yang berkembang di daerah Pariaman sekitarnya. Pertunjukan rebab Pariaman dilaksanakan dalam berbagai bentuk upacara dan keramaian anak nagari, seperti upacara pengangkatan penghulu, helat kawin, malam dana, sunatan dan lain sebagainya.
Rebab Pesisir
Bentuk lain dari intrumen berdawai yang berkembang di Minangkabau, khususnya di daerah Pesisir Selatan (Painan). Pada awalnya bentuk rabab pasisia ini sama dengan jenis rabab yang berkembang di Pariaman. Keterbukaan masyarakat Pesisir menerima pembaharuan tampak pada perubahan bentuk instrumen rebab. Dalam keadaannya sekarang bentuk instrumen rebab adalah seperti biola. Badan biola terbuat dari kayu nangka; mempunyai 4 (empat) buah snar (tali) (2 helai terbuat dari benang dan 2 helai dipakai dawai atau snar biola). Ada juga yang memakai 1 helai dari benang dan 3 snar biola.
Seperti halnya rebab darek dan rebab pariaman, fungsi rebab pesisir adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang, khususnya jenis dendang kaba yang berkembang di daerah Pesisir Selatan. Dalam pertunjukan rebab pesisir, biasanya diiringi dengan sebuah instrumen musik yang dinamakan indang; fungsinya adalah untuk mengiringi dendang yang sifatnya gembira dan untuk menghilangkan rasa jenuh dalam mendengarkan kaba. Pertunjukan rebab pesisir herat kaitanya dengan upacara adat seperti: pengangkatan penghulu, mantenan, dan acara-acara yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Rabu, 26 September 2012

WARNA DA’WAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU


WARNA DA’WAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
Oleh: Eldo Accarja


Wujud Dakwah Islam di Minangkabau telah membumi di Ranah Bundo Kanduang ini. Tentunya tidak terlepas dari latar belakang kebudayaan yang bersifat egaliter yang dianut oleh masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Dalam penelusuran sejarah sebelum kedatangan Islam di Minangkabau kita pasti langsung diperkenalkan dengan istilah budaya animisme dan dinamisme. Dimana kepercayaan itu menjadi suatu keyakinan mereka kepada ruh-ruh dan benda-benda. Kesaktian atau ritual di Minangkabau dahulunya dapat menambahkan keyakinan mereka yang dijuluki nenek moyang bahwa di atas bumi ini telah ada suatu kekuatan yang lebih dahsyat dari materi kehidupan. Maka, kepercayaan inilah yang ia yakini, dan kepercayaan inipun berkembang membentuk suatu pola pikir yang kritis, dengan cara berpikir seperti ini menimbulkan lahirnya falsafah-falsafah adat Alam Takambang Jadi Guru. Inilah yang menjadi salah satu pendorong Islam masuk di Minangkabau. Islam masuk bagaikan air yang meresap kepermukaan tisu, yang diibaratkan seperti kayu yang sekian tahun dibenam.
Bagi masyarakat Minangkabau, falsafah-falsafah adat mengandung unsur kedekatan dengan kehidupan sosial yang bertujuan untuk mengasah ketajaman hati terhadap suatu keyakinan, dan sebagai garis besar untuk mengetahui hakikat kebenaran. Falsafah diibaratkan sebagai simbol kebudayaan Minangkabau dan sering juga disebut sebagai kearifan lokal yang membantu penyebaran agama Islam yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Adagium Adat Basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah, Syarak Jo Adat Sandi Basandi merupakan suatu aplikatif tindakan sosial berbudaya. Islam di Minangkabau tumbuh dan berkembang melalui nilai-nilai kebudayaan yang ada, dengan tidak menghilangkan nilai-nilai lokal yang ada. Falsafah merupakan simbol atau identitas kebudayaan Minangkabau.
Bisa kita bandingkan dengan Da’wah Islam yang diterima oleh masyarakat budaya di Negeri Arab. Dalam syirahnya nabi Muhammad SAW terbukti bahwa ajaran Islam sangat toleran dengan simbol-simbol kebudayaan seperti yang dicontohkan di kota Mekah dan Madinah. Kedua kota ini memiliki tradisi  yang berbeda. Oleh karena itu, dengan menggunakan analisa yang singkat saja, kita dapat merasakan perbedaan yang sangat jelas. Seperti yang kita ketahui bahwa sewaktu Nabi besar Muhammad SAW hijrah dari kota Mekah ke kota Madinah, beliau langsung disambut dengan arakan gendang yang menjadi simbol penghormatan kepada tamu agung. Ini adalah suatu tradisi budaya kota Madinah. Kalau kita melihat ke dalam Minangkabau, simbol yang diterapkannya dalam bentuk tari pasambahan. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam di Mekah dan Madinah dida’wahkan langsung masuk kepada struktur kebudayaan masyarakatnya sama dengan Islam yang disebarkan di Nusantara ini, khususnya di Minangkabau.
Yang menjadi kekhawatiran bersama bagi orang Minangkabau saat ini adalah perluasan pemikiran barat hingga masuk ke Minangkabau, yang menitikberatkan kepada kebebasan berpikir dengan cara mengedepankan bukti-bukti materi atau sifat nyata “Sains”. Cara berpikir barat secara garis besar mengancam pertahanan simbol kebudayaan di Minangkabau. Akibatnya, dengan bebasnya cara berpikir saat ini yang telah diindikasikan oleh barat dengan misi keagamaan. Pemikiran barat atau pemikiran sekularisme terhadap Islam, jelas bahwa pemikiran ini mengarah mengancam kepada pertahanan suatu simbol (pengungkap) yang digunakan sebagai pendekatan diri kepada alam. Atau bertujuan untuk mengasah ketajaman diri kita kepada jalan kebenaran Islam dan di dalam berbudaya atau beradap (adat). Kritikan pemikiran ini tidak bisa kita jawab dengan jawaban tidak berdasar. Jawaban dari kritikan itu haruslah sesuai dengan penjelasan atau penegasan nilai-nilai Islam di dalam Al-Qur’an, sebab simbol kebudayaan bukanlah suatu kata benda, sehingga pertanyaan yang menyertainya inilah yang mendorong para Niniak Mamak, Ulama, dan Cadiak Pandai, untuk melakukan pembaharuan Islam di dalam tradisi budaya dan membentuk suatu adat yang lazim.
Para pendahulu di Minangkabau, seperti unsur niniak-mamak, alim-ulama, cadiak-pandai telah melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga nilai-nilai luhur adat dan berbudaya. Tantangan itu telah hadir kembali seiring dengan perkembangan Islam dan ideologi yang sama-sama naik yang mengkritisi nilai sosial yang ada dalam masyrakat, begitu juga terhadap kesadaran untuk menjaga Islam, terutama dalam menjaga nilai adat dari indikasi budaya global, dan perluasan pemikiran sekuler di Barat. Gejolak ini membuat para aktivis budaya di Minangkabau mengalami kecemasan atau sudah mulai berpikir tentang langkah-langkah untuk mempertahankan agar tidak terjadinya kehilangan nilai simbol di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Sebenarnya, ini adalah tantangan zaman terhadap kehidupan budaya lokal di Minangkabau. Kesadaran menjaga kearifan membuat semua kalangan menggigil dengan lika-liku zaman. Mengingat semakin jauhnya nilai kearifan ditafsirkan dalam masyarakat.
Umat Islam di dunia Melayu Minangkabau khususnya harus menjadikannya sebagai bahan renungan. Cukup kehancuran imperium Islam pada masa kekhalifahan Utsmani bisa menjadi sutau pembelajaran bagi Cendikiawan Minangkabau, terutama bagi para Aktivis Budaya dan Niniak-Mamak, Cadiak Pandai, serta Akademisi. Memang kehancuran ini diakibatkan oleh ideologi yang berkembang di Eropa pada masa itu. Tantangan setiap zaman sangatlah berbeda. Akan tetapi kita perlu untuk bersiaga agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Untuk itu, kita perlu mengetahui Syirah Nabawiyah yang merupakan suatu petunjuk untuk generasi muda dalam berbudaya dan ber-Adat.
 Di kancah Internasional, setiap zaman memang harus memiliki strategi (siasyah) agar tidak ditinggalkan oleh zaman. Islam berkembang mengikuti kesadaran budaya itu sendiri, ini yang perlu kita sadari selama ini. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau Umat Islam Minangkabau melakukan pencerdasan terhadap perkembangan pola pendidikan di Ranah Bundo Kanduang ini. Tentunya untuk mengimbangi tantangan zaman dan yang menjadi landasannya sudah tentu Al-Qur’an dan As-Sunah yang membantu mengembalikan ciri khas dan mengembalikan karakter nilai luhur kebudayaan. Semakin cerdasnya budaya tentu akan menambah ketajamaan keintelektualan budaya itu sendiri.
Budaya sebagai ekspresi tindakan sosial, perlu kita bubuhkan pendidikan moral. Sebab, untuk mengembalikan kecerdasan berbudaya dan beragama salah satu alternatif yang paling ampuh yaitu dengan langkah pencerdasan pola pendidikan tradisional, sebenarnya sistem pendidikan Islam di Minangkabau bisa kita manfaatkan. Lahirnya pemikiran kritis generasi muda Minangkabau, yaitu dengan sistem mendidik tiga unsur sosial dalam keluarganya. Pembagian peran ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki individu sosial seperti ibu, ayah, dan mamak. Sistem inilah yang digandeng Islam selama berabad-abad di Minangkabau. Oleh karena itu, sudah pasti Dakwah Islam terbukti memberikan warna atas tindakan sosial di Minangkabau. Sebagaimana kita ketahui, budaya juga digunakan sebagai aplikatif untuk menda’wahkan Islam dan hasilnya pun akan mengena langsung kepada masyarakatnya. Islam memberikan pengaruhnya kepada kebudayaan yang diakibatkan oleh kedekatan hati seorang  insan kepada Islam, sering disebut Sasuai dengan Alua nan Jo Patuik (sesuai dengan alur dan patut) sehingga ia mencerminkan tingkah lakunya yang diwarnai oleh nilai-nilai Islam.
Pewarnaan itu tergambar dari gelagat Niniak-Mamak, Alim-Ulama, Cadiak-Pandai, untuk menciptakan masyarakat yang madani, yang merupakan manifestasi dari sebuah corak kemasyarakatan di Minangkabau. Dalam hal ini, Minangkabau memiliki ciri tertentu dalam hal kebudayaan, secara spesifik terbagi dalam beberapa bagian yaitu, masyarakat Minangkabau umumnya kritis dan objektif, terbuka dan dinamis, serta ber-Adat dalam aktifitas sosial.