Rabu, 26 September 2012

WARNA DA’WAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU


WARNA DA’WAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
Oleh: Eldo Accarja


Wujud Dakwah Islam di Minangkabau telah membumi di Ranah Bundo Kanduang ini. Tentunya tidak terlepas dari latar belakang kebudayaan yang bersifat egaliter yang dianut oleh masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Dalam penelusuran sejarah sebelum kedatangan Islam di Minangkabau kita pasti langsung diperkenalkan dengan istilah budaya animisme dan dinamisme. Dimana kepercayaan itu menjadi suatu keyakinan mereka kepada ruh-ruh dan benda-benda. Kesaktian atau ritual di Minangkabau dahulunya dapat menambahkan keyakinan mereka yang dijuluki nenek moyang bahwa di atas bumi ini telah ada suatu kekuatan yang lebih dahsyat dari materi kehidupan. Maka, kepercayaan inilah yang ia yakini, dan kepercayaan inipun berkembang membentuk suatu pola pikir yang kritis, dengan cara berpikir seperti ini menimbulkan lahirnya falsafah-falsafah adat Alam Takambang Jadi Guru. Inilah yang menjadi salah satu pendorong Islam masuk di Minangkabau. Islam masuk bagaikan air yang meresap kepermukaan tisu, yang diibaratkan seperti kayu yang sekian tahun dibenam.
Bagi masyarakat Minangkabau, falsafah-falsafah adat mengandung unsur kedekatan dengan kehidupan sosial yang bertujuan untuk mengasah ketajaman hati terhadap suatu keyakinan, dan sebagai garis besar untuk mengetahui hakikat kebenaran. Falsafah diibaratkan sebagai simbol kebudayaan Minangkabau dan sering juga disebut sebagai kearifan lokal yang membantu penyebaran agama Islam yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Adagium Adat Basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah, Syarak Jo Adat Sandi Basandi merupakan suatu aplikatif tindakan sosial berbudaya. Islam di Minangkabau tumbuh dan berkembang melalui nilai-nilai kebudayaan yang ada, dengan tidak menghilangkan nilai-nilai lokal yang ada. Falsafah merupakan simbol atau identitas kebudayaan Minangkabau.
Bisa kita bandingkan dengan Da’wah Islam yang diterima oleh masyarakat budaya di Negeri Arab. Dalam syirahnya nabi Muhammad SAW terbukti bahwa ajaran Islam sangat toleran dengan simbol-simbol kebudayaan seperti yang dicontohkan di kota Mekah dan Madinah. Kedua kota ini memiliki tradisi  yang berbeda. Oleh karena itu, dengan menggunakan analisa yang singkat saja, kita dapat merasakan perbedaan yang sangat jelas. Seperti yang kita ketahui bahwa sewaktu Nabi besar Muhammad SAW hijrah dari kota Mekah ke kota Madinah, beliau langsung disambut dengan arakan gendang yang menjadi simbol penghormatan kepada tamu agung. Ini adalah suatu tradisi budaya kota Madinah. Kalau kita melihat ke dalam Minangkabau, simbol yang diterapkannya dalam bentuk tari pasambahan. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam di Mekah dan Madinah dida’wahkan langsung masuk kepada struktur kebudayaan masyarakatnya sama dengan Islam yang disebarkan di Nusantara ini, khususnya di Minangkabau.
Yang menjadi kekhawatiran bersama bagi orang Minangkabau saat ini adalah perluasan pemikiran barat hingga masuk ke Minangkabau, yang menitikberatkan kepada kebebasan berpikir dengan cara mengedepankan bukti-bukti materi atau sifat nyata “Sains”. Cara berpikir barat secara garis besar mengancam pertahanan simbol kebudayaan di Minangkabau. Akibatnya, dengan bebasnya cara berpikir saat ini yang telah diindikasikan oleh barat dengan misi keagamaan. Pemikiran barat atau pemikiran sekularisme terhadap Islam, jelas bahwa pemikiran ini mengarah mengancam kepada pertahanan suatu simbol (pengungkap) yang digunakan sebagai pendekatan diri kepada alam. Atau bertujuan untuk mengasah ketajaman diri kita kepada jalan kebenaran Islam dan di dalam berbudaya atau beradap (adat). Kritikan pemikiran ini tidak bisa kita jawab dengan jawaban tidak berdasar. Jawaban dari kritikan itu haruslah sesuai dengan penjelasan atau penegasan nilai-nilai Islam di dalam Al-Qur’an, sebab simbol kebudayaan bukanlah suatu kata benda, sehingga pertanyaan yang menyertainya inilah yang mendorong para Niniak Mamak, Ulama, dan Cadiak Pandai, untuk melakukan pembaharuan Islam di dalam tradisi budaya dan membentuk suatu adat yang lazim.
Para pendahulu di Minangkabau, seperti unsur niniak-mamak, alim-ulama, cadiak-pandai telah melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga nilai-nilai luhur adat dan berbudaya. Tantangan itu telah hadir kembali seiring dengan perkembangan Islam dan ideologi yang sama-sama naik yang mengkritisi nilai sosial yang ada dalam masyrakat, begitu juga terhadap kesadaran untuk menjaga Islam, terutama dalam menjaga nilai adat dari indikasi budaya global, dan perluasan pemikiran sekuler di Barat. Gejolak ini membuat para aktivis budaya di Minangkabau mengalami kecemasan atau sudah mulai berpikir tentang langkah-langkah untuk mempertahankan agar tidak terjadinya kehilangan nilai simbol di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Sebenarnya, ini adalah tantangan zaman terhadap kehidupan budaya lokal di Minangkabau. Kesadaran menjaga kearifan membuat semua kalangan menggigil dengan lika-liku zaman. Mengingat semakin jauhnya nilai kearifan ditafsirkan dalam masyarakat.
Umat Islam di dunia Melayu Minangkabau khususnya harus menjadikannya sebagai bahan renungan. Cukup kehancuran imperium Islam pada masa kekhalifahan Utsmani bisa menjadi sutau pembelajaran bagi Cendikiawan Minangkabau, terutama bagi para Aktivis Budaya dan Niniak-Mamak, Cadiak Pandai, serta Akademisi. Memang kehancuran ini diakibatkan oleh ideologi yang berkembang di Eropa pada masa itu. Tantangan setiap zaman sangatlah berbeda. Akan tetapi kita perlu untuk bersiaga agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Untuk itu, kita perlu mengetahui Syirah Nabawiyah yang merupakan suatu petunjuk untuk generasi muda dalam berbudaya dan ber-Adat.
 Di kancah Internasional, setiap zaman memang harus memiliki strategi (siasyah) agar tidak ditinggalkan oleh zaman. Islam berkembang mengikuti kesadaran budaya itu sendiri, ini yang perlu kita sadari selama ini. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau Umat Islam Minangkabau melakukan pencerdasan terhadap perkembangan pola pendidikan di Ranah Bundo Kanduang ini. Tentunya untuk mengimbangi tantangan zaman dan yang menjadi landasannya sudah tentu Al-Qur’an dan As-Sunah yang membantu mengembalikan ciri khas dan mengembalikan karakter nilai luhur kebudayaan. Semakin cerdasnya budaya tentu akan menambah ketajamaan keintelektualan budaya itu sendiri.
Budaya sebagai ekspresi tindakan sosial, perlu kita bubuhkan pendidikan moral. Sebab, untuk mengembalikan kecerdasan berbudaya dan beragama salah satu alternatif yang paling ampuh yaitu dengan langkah pencerdasan pola pendidikan tradisional, sebenarnya sistem pendidikan Islam di Minangkabau bisa kita manfaatkan. Lahirnya pemikiran kritis generasi muda Minangkabau, yaitu dengan sistem mendidik tiga unsur sosial dalam keluarganya. Pembagian peran ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki individu sosial seperti ibu, ayah, dan mamak. Sistem inilah yang digandeng Islam selama berabad-abad di Minangkabau. Oleh karena itu, sudah pasti Dakwah Islam terbukti memberikan warna atas tindakan sosial di Minangkabau. Sebagaimana kita ketahui, budaya juga digunakan sebagai aplikatif untuk menda’wahkan Islam dan hasilnya pun akan mengena langsung kepada masyarakatnya. Islam memberikan pengaruhnya kepada kebudayaan yang diakibatkan oleh kedekatan hati seorang  insan kepada Islam, sering disebut Sasuai dengan Alua nan Jo Patuik (sesuai dengan alur dan patut) sehingga ia mencerminkan tingkah lakunya yang diwarnai oleh nilai-nilai Islam.
Pewarnaan itu tergambar dari gelagat Niniak-Mamak, Alim-Ulama, Cadiak-Pandai, untuk menciptakan masyarakat yang madani, yang merupakan manifestasi dari sebuah corak kemasyarakatan di Minangkabau. Dalam hal ini, Minangkabau memiliki ciri tertentu dalam hal kebudayaan, secara spesifik terbagi dalam beberapa bagian yaitu, masyarakat Minangkabau umumnya kritis dan objektif, terbuka dan dinamis, serta ber-Adat dalam aktifitas sosial.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar