WARNA DA’WAH DALAM MASYARAKAT
MINANGKABAU
Oleh:
Eldo Accarja
Wujud
Dakwah Islam di Minangkabau telah
membumi di Ranah Bundo Kanduang ini. Tentunya tidak terlepas dari
latar belakang kebudayaan yang bersifat egaliter yang dianut oleh masyarakat Minangkabau secara keseluruhan.
Dalam penelusuran sejarah sebelum kedatangan Islam di Minangkabau kita pasti langsung diperkenalkan dengan istilah
budaya animisme
dan dinamisme.
Dimana kepercayaan itu menjadi
suatu keyakinan mereka kepada
ruh-ruh dan benda-benda. Kesaktian atau ritual di Minangkabau dahulunya
dapat menambahkan
keyakinan mereka yang dijuluki nenek
moyang bahwa di atas bumi ini telah ada
suatu kekuatan yang lebih dahsyat dari materi kehidupan. Maka, kepercayaan inilah
yang ia yakini,
dan kepercayaan inipun berkembang membentuk suatu pola pikir yang kritis,
dengan cara berpikir
seperti ini menimbulkan lahirnya falsafah-falsafah adat
Alam Takambang Jadi Guru. Inilah yang
menjadi salah
satu pendorong Islam masuk di Minangkabau.
Islam masuk bagaikan air yang meresap kepermukaan tisu, yang diibaratkan seperti kayu yang sekian tahun dibenam.
Bagi
masyarakat Minangkabau,
falsafah-falsafah adat
mengandung unsur kedekatan dengan kehidupan sosial yang bertujuan untuk
mengasah ketajaman hati terhadap suatu
keyakinan,
dan sebagai garis besar untuk mengetahui hakikat kebenaran. Falsafah diibaratkan sebagai
simbol kebudayaan Minangkabau dan sering juga disebut sebagai kearifan lokal
yang membantu penyebaran agama Islam yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Adagium Adat Basandi Syarak, Syarak
basandi kitabullah, Syarak Jo Adat Sandi Basandi merupakan suatu aplikatif
tindakan sosial berbudaya.
Islam di Minangkabau tumbuh dan berkembang melalui nilai-nilai kebudayaan yang
ada, dengan tidak
menghilangkan nilai-nilai lokal yang ada. Falsafah merupakan simbol atau
identitas kebudayaan Minangkabau.
Bisa kita bandingkan dengan Da’wah Islam yang diterima oleh masyarakat budaya di Negeri Arab. Dalam syirahnya nabi
Muhammad SAW terbukti bahwa ajaran Islam sangat toleran dengan simbol-simbol kebudayaan seperti yang dicontohkan di kota Mekah dan Madinah. Kedua kota ini
memiliki tradisi yang berbeda. Oleh
karena itu,
dengan menggunakan analisa yang singkat saja,
kita dapat merasakan perbedaan yang sangat jelas. Seperti
yang kita ketahui bahwa sewaktu Nabi besar Muhammad SAW hijrah dari kota Mekah
ke kota Madinah,
beliau langsung disambut dengan arakan gendang yang menjadi simbol penghormatan
kepada tamu agung.
Ini adalah suatu tradisi budaya kota Madinah. Kalau kita melihat
ke dalam
Minangkabau,
simbol yang diterapkannya dalam bentuk tari pasambahan. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam di
Mekah dan Madinah dida’wahkan
langsung masuk kepada struktur kebudayaan masyarakatnya sama dengan Islam yang
disebarkan di Nusantara ini,
khususnya di Minangkabau.
Yang
menjadi kekhawatiran
bersama bagi orang Minangkabau saat ini adalah perluasan pemikiran barat hingga
masuk ke Minangkabau,
yang menitikberatkan kepada kebebasan berpikir
dengan cara mengedepankan bukti-bukti materi atau sifat nyata “Sains”. Cara berpikir barat secara garis
besar mengancam pertahanan simbol kebudayaan di Minangkabau. Akibatnya, dengan bebasnya cara
berpikir saat ini yang
telah diindikasikan oleh barat dengan misi keagamaan. Pemikiran barat atau pemikiran sekularisme
terhadap Islam, jelas bahwa pemikiran ini mengarah mengancam kepada pertahanan
suatu simbol (pengungkap) yang digunakan sebagai pendekatan diri kepada alam. Atau bertujuan untuk mengasah ketajaman diri
kita kepada jalan kebenaran Islam dan di dalam berbudaya atau beradap (adat). Kritikan pemikiran ini
tidak bisa kita jawab dengan jawaban tidak berdasar. Jawaban dari
kritikan itu haruslah sesuai dengan penjelasan atau penegasan nilai-nilai Islam
di dalam Al-Qur’an, sebab
simbol kebudayaan bukanlah suatu kata benda, sehingga pertanyaan yang
menyertainya inilah yang mendorong para Niniak Mamak, Ulama, dan Cadiak Pandai, untuk melakukan
pembaharuan Islam di dalam
tradisi budaya dan membentuk suatu adat yang lazim.
Para
pendahulu di Minangkabau,
seperti unsur niniak-mamak, alim-ulama, cadiak-pandai telah melakukan
tindakan-tindakan untuk menjaga nilai-nilai luhur adat dan berbudaya. Tantangan
itu telah hadir kembali seiring dengan perkembangan Islam dan ideologi yang
sama-sama naik yang mengkritisi nilai sosial yang ada dalam masyrakat, begitu juga terhadap kesadaran untuk menjaga
Islam, terutama dalam menjaga
nilai adat dari indikasi budaya global, dan perluasan pemikiran sekuler di Barat. Gejolak
ini membuat para aktivis budaya di Minangkabau mengalami kecemasan atau sudah
mulai berpikir
tentang langkah-langkah untuk mempertahankan agar tidak terjadinya kehilangan
nilai simbol di dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.
Sebenarnya,
ini adalah tantangan zaman terhadap kehidupan budaya lokal di Minangkabau.
Kesadaran menjaga kearifan membuat semua kalangan menggigil dengan lika-liku
zaman. Mengingat semakin jauhnya
nilai kearifan ditafsirkan dalam masyarakat.
Umat
Islam di dunia Melayu Minangkabau khususnya harus menjadikannya sebagai bahan
renungan. Cukup kehancuran
imperium Islam pada masa kekhalifahan
Utsmani bisa menjadi
sutau pembelajaran bagi Cendikiawan Minangkabau, terutama bagi para Aktivis Budaya dan
Niniak-Mamak, Cadiak Pandai, serta Akademisi. Memang kehancuran ini diakibatkan
oleh ideologi yang berkembang di Eropa pada masa itu. Tantangan setiap zaman
sangatlah berbeda.
Akan tetapi
kita
perlu untuk bersiaga agar tidak jatuh
ke lubang
yang sama.
Untuk itu,
kita perlu mengetahui Syirah Nabawiyah
yang merupakan suatu petunjuk untuk generasi muda dalam berbudaya dan ber-Adat.
Di kancah Internasional, setiap zaman memang
harus memiliki strategi (siasyah) agar tidak ditinggalkan oleh zaman. Islam
berkembang mengikuti kesadaran
budaya itu sendiri, ini yang perlu kita sadari selama ini. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau Umat Islam Minangkabau
melakukan pencerdasan terhadap perkembangan pola pendidikan di Ranah Bundo Kanduang ini. Tentunya untuk mengimbangi tantangan zaman dan yang menjadi landasannya sudah tentu Al-Qur’an dan As-Sunah yang membantu
mengembalikan ciri khas
dan mengembalikan karakter nilai
luhur kebudayaan.
Semakin cerdasnya budaya tentu akan
menambah ketajamaan keintelektualan budaya
itu sendiri.
Budaya
sebagai ekspresi tindakan sosial,
perlu kita bubuhkan pendidikan moral.
Sebab,
untuk mengembalikan kecerdasan berbudaya dan beragama salah satu alternatif
yang paling ampuh yaitu dengan langkah pencerdasan pola pendidikan tradisional,
sebenarnya sistem
pendidikan Islam di Minangkabau bisa kita manfaatkan. Lahirnya pemikiran
kritis generasi muda
Minangkabau, yaitu dengan sistem mendidik tiga unsur sosial dalam keluarganya. Pembagian peran ini
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki individu sosial seperti ibu, ayah, dan
mamak.
Sistem inilah yang digandeng Islam selama berabad-abad di Minangkabau.
Oleh karena itu,
sudah pasti Dakwah Islam terbukti memberikan warna atas tindakan sosial di
Minangkabau.
Sebagaimana kita ketahui, budaya juga digunakan sebagai aplikatif
untuk menda’wahkan Islam dan hasilnya pun akan mengena langsung kepada masyarakatnya. Islam memberikan
pengaruhnya kepada kebudayaan yang diakibatkan oleh kedekatan hati seorang insan kepada Islam, sering disebut Sasuai dengan Alua nan Jo Patuik (sesuai dengan alur dan patut) sehingga
ia mencerminkan tingkah lakunya
yang diwarnai oleh nilai-nilai Islam.
Pewarnaan
itu tergambar dari gelagat Niniak-Mamak, Alim-Ulama, Cadiak-Pandai, untuk
menciptakan masyarakat yang madani, yang merupakan manifestasi dari sebuah corak
kemasyarakatan di Minangkabau.
Dalam hal ini,
Minangkabau memiliki ciri tertentu dalam hal kebudayaan, secara spesifik
terbagi dalam beberapa bagian yaitu, masyarakat Minangkabau umumnya kritis dan objektif,
terbuka dan dinamis, serta ber-Adat
dalam aktifitas sosial.