TRADISIONALISME DALAM
PERBANDINGAN ZAMAN
Oleh:
Eldo Accarja
Perkembangan
zaman dijadikan tolak
ukur sebagai unsur ketetapan
standar kehidupan,
agar tidak mengalami ketertinggalan sesuai dengan perkembangan alam dan pola pikir manusia yang bersifat
dinamis menuju kesempurnaan. Tentunya, di dalam komunitas yang sangat
tradisonal, selalu saja ada seseorang yang bisa melakukan magic agak kasar. Misalnya; melontarkan
satu atau dua kutukan;
mengirim santet;
membuat jimat pengusir
setan (The Book of Cinese Beliefs Arrow Books, 1983:137). Akan tetapi, perkembangan pola pikir dan ketergantungan
kepada alam merupakan sandaran pokok untuk pengembangan diri dari
ketertinggalan.
Alam Takambang Jadi Guru Merupakan Falsafah, tidak pernah dia mengajarkan bahwa apa-apa saja
yang ada di alam
itu langsung dicerna, tidak sama dengan binatang manusia hanya bisa hidup di
Alam kedua di dalam alam yang natural ini. Dengan kearifan orang Minangkabau, alam dijadikan sebagai medium awal
untuk kehidupan. Bisa dicontohkan
dengan kebutuhan pokok
manusia (makanan).
Manusia melakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum mereka
mengkonsumsi, mungkin saja pembersihan atau dengan cara memasaknya.
Masuknya
Islam ke Minangkabau secara bertahap
memberikan dampak yang positif
terhadap kecerdasan masyarakat
budaya. Islam menyumbangkan
ketetapan hukum di
dalam
kehidupan yang membatasi semua kebebasan yang bersifat negatif. Islam menjembatani
hidup manusia agar tetap berjalan di dalam rel yang bisa
mengantarkan sampai ke tujuan.
Perkembangan budaya magic di
dalam
kehidupan masyarakat mulai mengalami pergeseran, yang disebabkan oleh pengetahuanya tentang ilmu yang masuk ke dalam akalnya bersifat
logika. Sama-sama kita ketahui,
dengan paparan di atas bahwa magic, seperti santet kutuk atau sumpah juga mengalami
pergseran dalam nilai-nilai budaya. Kebutuhan secara supernatural dan metafisis
bagi manusia merupakan ungkapan jiwa yang percaya pada kehidupan gaib.
Di
era moderen ini, mantra dipandang
sebagai simbol dari ungkapan suatu keyakinan.
Dalam setiap pertunjukan seni tradisonal di Minangkabau mungkin
saja di daerah
lain masih diyakini oleh sebagian orang.
Akan tetapi,
setiap pertunjukan seni tradisional tidak akan terlepas dari suatu keyakinan,
sebab setiap pertunjukan seni dari budaya di Minangkabau bersumber dari religi
baik pesan moral maupun penyampaian ayat-ayat Allah dengan cara mentadabburinya kedalam seni.
Nah,
sekarang yang menjadi suatu kerisihan dari para elit budaya, atau aktivis
budaya maupun sanggar-sanggar seni budaya pertunjukan tradisional, bisa kita
jawab dengan cara ajakan memurnikan
kembali seni dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Bukan sebagai alat tukar dari nilai jual
yang tinggi (kebutuhan ekonomi). Maksudnya,
seni merupakan mediasi dari pesan-pesan moral. Bahwa kata-kata bukan suara yang
diam, huruf dan gambar bukanlah sekedar tinta atau cat, dan posisi tubuh bukan
sekedar kenyamanan.
Namun mereka semua menghasilkan realitas yang mereka ekspresikan
atau representasikan (J.J.M. de Groot,
1910).
Memurnikan
seni dari semua aspek ekonomi dan kecemasan terhadap mantra itu hal yang kuno.
Penyampaian pesan moral merupakan
misi utama dari pertunjukan seni. Realita sekarang yang menjadi gonjang-ganjing
atau kekeliruan antara kebutuhan ekonomi dan seni sebagai mediasi utama untuk
pesan moral,
masih membutuhkan solusi yang tepat terhadap dua tujuan ini. Bagi kepentingan
pariwisata itu tidak ada permasalahan sebenarnya untuk penikmat seni. Tidak perlu juga
kita menanamkan rasa takut akan kecemasan terhadap nilai-nilai. Yang menjadi
konsumsi adalah pesan moral dan dan kejutan-kejutan dari atraksi yang baru yang
selalu membutuhkan
pembaharuan sesuai kebutuhan
masa.
“Seni
tradisonal telah hilang dari keaslianya” kata-kata atau ungkapan seperti inilah
yang selalu membuat kita risih. Intinya,
yang perlu kita tindaki adalah bagaimana cara untuk mengembangkan seni sesuai
dengan perkembangan alam,
atau mengikuti periode perkembangan zaman (moderen). Mungkin saja yang
kita lihat sebelum tampil atau naik panggung para seniaman terlebih dahulu
membaca mantra.
Akan tetapi,
itu tidak ada lagi.
Jika itu yang kita inginkan, berarti niat kita
sebagai seniman telah melenceng dari tujuan pertunjukan. Mungkin saja konteksnya berbeda antara masa
dahulu dan masa sekarang. Setelah masuk dan
berkembanganya agama Islam di Minangkabau, akhirnya mereka mengetahui pesan moral,
cukup dengan “Bismilahirahmanirrahim”
semua sudah bisa diawali.
Seni
Minangkabau seperti Indang
dan Salawaik Dulang, merupakan seni
tradisional
yang berkembang di Pariaman yang telah membuktikan bahwa seni tidak mengenal
batasan-batasan Sara.
Akan tetapi,
seni bisa memberikan masukan dan pencerahan.
Di setiap
pertunjukan Indang dan Salawaik Dulang,
sampai sekarang tidak ada sedikitpun dari mereka sebagai seniman
menghilangkan fungsi dari seni tersebut. Mereka tetap menyampaikan atau metadabburi ceritanya dengan
nuansa ke-Islam-an, tradisionalisme
seniman tetap tersampaikan. Untuk da’wah Islam di Minangkabau bisa meninjau
pesan moral melalui Seni tidak hanya melalui musik Gambus atau Kecapi seperti
yang berkembang di Timur
Tengah. Akan tetapi, seni bisa menyesuikan
regional dan menyesuaikan psikologi
masyarakat budayanya.
Dari
perbedaan itu semangat ingin tahu dari sisi manusiawi kemanusiaan wisatawan
terpancing untuk ingin tahu.
Maka,
tidak perlu kita mencemaskan masalah-masalah nilai, yang menilai itu adalah
penikmat seni.
Sebagai seniman,
seni merupakan ungkapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar