Rabu, 26 September 2012

TRADISIONALISME DALAM PERBANDINGAN ZAMAN


TRADISIONALISME DALAM PERBANDINGAN ZAMAN
Oleh: Eldo Accarja

Perkembangan zaman dijadikan tolak ukur sebagai unsur ketetapan standar kehidupan, agar tidak mengalami ketertinggalan sesuai dengan perkembangan alam dan pola pikir manusia yang bersifat dinamis menuju kesempurnaan. Tentunya, di dalam komunitas yang sangat tradisonal, selalu saja ada seseorang yang bisa melakukan magic agak kasar. Misalnya; melontarkan satu atau dua kutukan; mengirim santet; membuat jimat pengusir setan (The Book of Cinese Beliefs Arrow Books, 1983:137). Akan tetapi, perkembangan pola pikir dan ketergantungan kepada alam merupakan sandaran pokok untuk pengembangan diri dari ketertinggalan. Alam Takambang Jadi Guru Merupakan Falsafah, tidak pernah dia mengajarkan bahwa apa-apa saja yang ada di alam itu langsung dicerna, tidak sama dengan binatang manusia hanya bisa hidup di Alam kedua di dalam alam yang natural ini. Dengan kearifan orang Minangkabau, alam dijadikan sebagai medium awal untuk kehidupan. Bisa dicontohkan dengan kebutuhan pokok manusia (makanan). Manusia melakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum mereka mengkonsumsi, mungkin saja pembersihan atau dengan cara memasaknya.
Masuknya Islam ke Minangkabau secara bertahap memberikan dampak yang positif terhadap kecerdasan masyarakat budaya. Islam menyumbangkan ketetapan hukum di dalam kehidupan yang membatasi semua kebebasan yang bersifat negatif. Islam menjembatani hidup manusia agar tetap berjalan di dalam rel yang bisa mengantarkan sampai ke tujuan. Perkembangan budaya magic di dalam kehidupan masyarakat mulai mengalami pergeseran, yang disebabkan oleh pengetahuanya tentang ilmu yang masuk ke dalam akalnya bersifat logika. Sama-sama kita ketahui, dengan paparan di atas bahwa magic, seperti santet kutuk atau sumpah juga mengalami pergseran dalam nilai-nilai budaya. Kebutuhan secara supernatural dan metafisis bagi manusia merupakan ungkapan jiwa yang percaya pada kehidupan gaib.
Di era moderen ini, mantra dipandang sebagai simbol dari ungkapan suatu keyakinan. Dalam setiap pertunjukan seni tradisonal di Minangkabau mungkin saja di daerah lain masih diyakini oleh sebagian orang. Akan tetapi, setiap pertunjukan seni tradisional tidak akan terlepas dari suatu keyakinan, sebab setiap pertunjukan seni dari budaya di Minangkabau bersumber dari religi baik pesan moral maupun penyampaian ayat-ayat Allah dengan cara mentadabburinya kedalam seni.
Nah, sekarang yang menjadi suatu kerisihan dari para elit budaya, atau aktivis budaya maupun sanggar-sanggar seni budaya pertunjukan tradisional, bisa kita jawab dengan cara ajakan  memurnikan kembali seni dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Bukan sebagai alat tukar dari nilai jual yang tinggi (kebutuhan ekonomi). Maksudnya, seni merupakan mediasi dari pesan-pesan moral. Bahwa kata-kata bukan suara yang diam, huruf dan gambar bukanlah sekedar tinta atau cat, dan posisi tubuh bukan sekedar kenyamanan. Namun mereka semua menghasilkan realitas yang mereka ekspresikan atau representasikan (J.J.M. de Groot, 1910).
Memurnikan seni dari semua aspek ekonomi dan kecemasan terhadap mantra itu hal yang kuno. Penyampaian pesan moral merupakan misi utama dari pertunjukan seni. Realita sekarang yang menjadi gonjang-ganjing atau kekeliruan antara kebutuhan ekonomi dan seni sebagai mediasi utama untuk pesan moral, masih membutuhkan solusi yang tepat terhadap dua tujuan ini. Bagi kepentingan pariwisata itu tidak ada permasalahan sebenarnya untuk penikmat seni. Tidak perlu juga kita menanamkan rasa takut akan kecemasan terhadap nilai-nilai. Yang menjadi konsumsi adalah pesan moral dan dan kejutan-kejutan dari atraksi yang baru yang selalu membutuhkan pembaharuan sesuai kebutuhan masa.
“Seni tradisonal telah hilang dari keaslianya” kata-kata atau ungkapan seperti inilah yang selalu membuat kita risih. Intinya, yang perlu kita tindaki adalah bagaimana cara untuk mengembangkan seni sesuai dengan perkembangan alam, atau mengikuti periode perkembangan zaman (moderen). Mungkin saja yang kita lihat sebelum tampil atau naik panggung para seniaman terlebih dahulu membaca mantra. Akan tetapi, itu tidak ada lagi. Jika itu yang kita inginkan, berarti niat kita sebagai seniman telah melenceng dari tujuan pertunjukan. Mungkin saja konteksnya berbeda antara masa dahulu dan masa sekarang. Setelah masuk dan berkembanganya agama Islam di Minangkabau, akhirnya mereka mengetahui pesan moral, cukup dengan “Bismilahirahmanirrahim”  semua sudah bisa diawali.
Seni Minangkabau seperti Indang dan Salawaik Dulang, merupakan seni tradisional yang berkembang di Pariaman yang telah membuktikan bahwa seni tidak mengenal batasan-batasan Sara. Akan tetapi, seni bisa memberikan masukan dan pencerahan. Di setiap pertunjukan Indang dan Salawaik Dulang, sampai sekarang tidak ada sedikitpun dari mereka sebagai seniman menghilangkan fungsi dari seni tersebut. Mereka tetap menyampaikan atau metadabburi ceritanya dengan nuansa ke-Islam-an, tradisionalisme seniman tetap tersampaikan. Untuk da’wah Islam di Minangkabau bisa meninjau pesan moral melalui Seni tidak hanya melalui musik Gambus atau Kecapi seperti yang berkembang di Timur Tengah. Akan tetapi, seni bisa menyesuikan regional dan menyesuaikan psikologi masyarakat budayanya.
Dari perbedaan itu semangat ingin tahu dari sisi manusiawi kemanusiaan wisatawan terpancing untuk ingin tahu. Maka, tidak perlu kita mencemaskan masalah-masalah nilai, yang menilai itu adalah penikmat seni. Sebagai seniman, seni merupakan ungkapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar