Rabu, 26 September 2012

BIBIT KONFLIK YANG TERJADI DI DALAM MAUPUN ANTAR NAGARI


BIBIT KONFLIK YANG TERJADI DI DALAM MAUPUN ANTAR NAGARI
Oleh: Eldo Accarja


Bermacam-macam tempat tumbuh dan berkembang bibit konflik[1] di dalam suatu Nagari, salah satunya dari suatu keinginan. Keinginan ini kata Marx bisa dari perut atau dari khayalan, maka keterancaman hidup untuk selalu memenuhi kebutuhan itu sangatlah manusiawi dan nilai tukar dari kebutuhan tersebut adalah uang atau tuntutan ekonomi dalam kehidupan berbudaya. Tumbal dari tuntutan ini terutama menurunnya rasa kekeluargaan dan menghilangnya semangat gotongroyong atau rasa kekeluargaan, disitulah yang menjadi ketakutan kita selama ini. Mengetahui kerangka dari permasalah ini, Minangkabau sebagai  budaya yang penuh dengan kearifan dalam menyikapi semua permasalahan hidup terutama dalam urusan kesejahteraan perlu sekiranya kita sebagai orang yang merasa memiliki rasa tanggung jawab, secara bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan dalam urusan ekonomi agar tidak ditenggelamkan oleh zaman yang selalu bersaing untuk selalu bertahan hidup. Seribu konflik bisa saja datang kapan saja. Jadi, di sini yang perlu kita cerdasi bagaimana cara terbaik yang perlu kita tempuh untuk memenuhi kebutuhan individu maupun kebutuhan kelompok terhadap tantangan mental masyarakat Minangkabau pada saat sekarang ini.
Oleh karena itu, cara untuk mengatasi permasalaah ekonomi[2] saat ini tidak hanya kepada pihak pemerintah saja yang diwajibkan untuk memikirkan ini. Akan tetapi, ini disertai juga oleh semua jajaran pimimpinan di dalam perkumpulan suatu kaum. Mereka yang terlibat untuk memikirkan permasaalahan ini, harus berusaha sekuat tenaga membangkitkan semangat masyrakat Minangkabau. Agar terciptanya kesejahteraan sebagaimana yang kita ketahui, kesejahteraan ekonomi budaya harus berawal dari kesiapan mental masyarakat untuk memperoleh tujuaanya. Untuk antisipasi dari bermacam-macam konflik yang kita hadapi, untuk tidak terjadi pengulangan kesalahan pada generasi masa depan, maka ini perlu menjadi tanggung jawab kita semua untuk membangun masa depan. Generasi yang kita tinggalkan, ia harus mendapatkan percontohan dari kita yang merasa bertanggung jawab untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan moral yang menjadi tantangan hidup bagi mereka. Kelak supaya tidak terciptanya konflik internal maupun external. Peran pemerintah di sini bukan hanya membuka lapangan perkerjaan sebanyak mungkin. Akan tetapi, pemerintah diharapkan berperan secara aktif dalam memberi pencerdasan yang ekstra terhadap perkembangan masyarakat sosial di Minangkabau. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa masyarakat Minangkabau pada umumnya memiliki mental tersendiri untuk menyelesaikan ketertekanannya. Nah, pemerintah harus tahu apa-apa saja  yang menjadi permasalahan yang ada didalamnya. Sebab itu merupakan tanggung jawab terbesar bagi seorang pemimpin. Lain halnya konflik yang berasal dari kritikan dalam lingkungan Adat atau Faham yang mereka yakini sebenarnya. Di sini yang sangat dibutuhkan adalah sosok seorang janang sebagai alat untuk menjembatani yang berkaitan dengan tata cara ini. Menurut saya janang yang tepat adalah seorang pemimpin yang memliki figur seperti pemimpin tertinggi dalam tataran birokrat, seperti untuk di Sumatra Barat, misalnya Gubenur yang menentukan kemana arah yang terbaik dalam menyatukan atau mempersaudarakan masyarakat sosial seperti ini.
Persebaran Nagari di Minangkabau mencerminkan suatu bentuk dinamika secara nyata. Identitas dalam Nagari mencerminkan sebagaimana mereka bertingkah menyampaikan rasa penghambaannya kepada Sang Khaliq Allah Azza Wajalla. Banyak cara untuk mengungkapkan rasa cinta dan tunduk kepada Tuhannya yang menyatukan mereka dalam tali persaudaraan (Ukwah Islamiah). Terkait dengan permasalahan-permasalahan pemahaman setiap Nagari memakai mashab kadang cenderung tidak sama rata. Mereka menganggap bahwa apa-apa yang diyakininya itu benar-benar bisa untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, itu lah yang terbaik  menurut pemikiran sebagian dari kaum adat di Minangkabau. Misalnya dalam satu Nagari kita bisa mencontohkan seperti Nagari A telah meng-Adat-kan aliran mashab aliran nastabandiah, shtatariah, muhammadiyah, yang sering memancing terjadi konflik disini. Seperti penetapan tanggal masuknya bulan Rhamadhan, tak ubah seperti di tingkat nasional maupun tingkat internasional seolah-olah Islam berkembang tidak dalam satu kepemimpinan.
Kesalahpahaman yang memancing konflik bisa mengalir di antara orang asing dalam komunitas adat dalam Nagari tersebut. Kesalahpahaman terkait permasalahan tatacara penghambaan kepada Sang Khaliq, memang bisa saja terjadi, bahkan diantara sesama komunitas adat dalam Nagari tersebut. Namun, keadaanya semakin tampak saat kedua budaya  atau faham atau pemahaman yang sama sekali berbeda saling berhadapan. Tak jarang terjadi penghinaan, kejengkelan, hingga ledakan kemarahan di atara orang asing saat mereka berada di titik ketidaksetujuan tentang apa yang disebut dengan perilaku baik atau faham yang benar bagi komunitas adat tertentu antar-Nagari.
Mau tidak mau, yang memiliki peran penting dalam mengatasi kebudayaan adalah peran para pemimpin. Hanya yang ditakutkan oleh para aktivis budaya adalah masuknya peran dari bendera politik ke dalam ranah sistem adat. Sebenarnya yang perlu kita pertimbangkan di sini ketika peran itu berjalan di luar jalur seperti memberikan pembelajaran korupsi dan politik saling menjatuhkan perlu kita berantas, kecuali peran dari pemimpin itu bertujuan untuk mencerdaskan dengan memainkan fungsinya, untuk menciptakan konsensus yang tepat sesuai dengan harapan masyarakat, agar terciptanya Ukhwah Islamiah sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadikan kokohnya adagium adat di Minangkabau yang berbunyi “Adaik basandi syarak, Syarak basandi kitabullah Al-qur’annurkarim.
Hubungan antar individu yang saling mempengaruhi dalam hal ilmu pengetahuan pemahaman, sikap dan perilaku disebut interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi apabila tindakan atau perilaku sesorang dapat mempengaruhi, mengubah, memperbaiki, atau mendorong perilaku, pikiran, perasaan, emosi orang lain. Begitu juga dengan konsep kepemimpinan yang menanamkan pendekatan sosial figuritas adalah ujung tombak dari arah kebudayaan. Untuk terciptanya budaya yang memiliki nilai yang tinggi kita perlu melahirkan kader-kader yang luar biasa untuk pemimpin demi kemajuan pola pikir masyarakat budaya di ranah bundo kanduang ini, yaitu dengan cara melakukan pencerdasan terhadap pendidikan serta memperbaiki kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah atas. Dalam kerangka tujuan untuk mengatasi mental bloking yang merajai alam bawah sadar masyarakat budaya masa kini.







[1] Bibit konflik berarti awal permasalahan yang timbul dari faktor lingkungan SDA dan SDM dalam tantangan zaman.
[2] Permasalahan yang dihadapi yaitu tentang kebutuhan hidup, padahal SDA kita sangatlah kaya, mungkin yang dibutuhkan keahlian untuk pengolahan atau mendidik mental kita kembali, untuk membaca suasana sekitar (cepat tanggap dengan alam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar