BIBIT
KONFLIK YANG TERJADI DI DALAM MAUPUN ANTAR NAGARI
Oleh: Eldo Accarja
Bermacam-macam tempat
tumbuh dan berkembang bibit konflik[1] di dalam suatu Nagari, salah satunya dari
suatu keinginan.
Keinginan ini kata Marx bisa dari perut atau dari khayalan, maka keterancaman hidup
untuk selalu memenuhi kebutuhan itu sangatlah manusiawi dan nilai tukar dari
kebutuhan tersebut adalah uang atau tuntutan ekonomi dalam kehidupan berbudaya. Tumbal dari tuntutan
ini terutama menurunnya rasa kekeluargaan dan menghilangnya semangat gotongroyong atau rasa
kekeluargaan, disitulah yang menjadi ketakutan kita selama ini. Mengetahui
kerangka dari permasalah ini,
Minangkabau sebagai budaya yang penuh
dengan kearifan dalam menyikapi semua permasalahan hidup terutama dalam urusan
kesejahteraan perlu sekiranya kita sebagai orang yang merasa memiliki rasa
tanggung jawab,
secara bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan dalam urusan ekonomi agar
tidak ditenggelamkan oleh zaman yang selalu bersaing untuk selalu bertahan
hidup. Seribu konflik bisa
saja datang kapan saja.
Jadi,
di sini
yang perlu kita cerdasi bagaimana cara terbaik yang perlu kita tempuh untuk
memenuhi kebutuhan individu maupun kebutuhan kelompok terhadap tantangan mental
masyarakat Minangkabau pada saat sekarang ini.
Oleh
karena itu, cara untuk mengatasi permasalaah ekonomi[2]
saat ini tidak hanya kepada pihak
pemerintah saja yang diwajibkan untuk
memikirkan ini.
Akan tetapi,
ini disertai juga oleh semua jajaran
pimimpinan di dalam
perkumpulan suatu kaum. Mereka yang terlibat
untuk memikirkan permasaalahan ini,
harus berusaha sekuat tenaga membangkitkan semangat masyrakat Minangkabau. Agar terciptanya kesejahteraan
sebagaimana yang kita ketahui, kesejahteraan ekonomi budaya harus berawal dari
kesiapan mental masyarakat untuk memperoleh tujuaanya. Untuk antisipasi dari
bermacam-macam konflik yang kita hadapi,
untuk tidak terjadi
pengulangan kesalahan pada generasi masa depan, maka ini perlu menjadi tanggung
jawab kita semua untuk membangun masa depan.
Generasi yang kita tinggalkan, ia harus mendapatkan
percontohan dari kita yang merasa bertanggung jawab untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan moral yang menjadi tantangan
hidup bagi mereka.
Kelak supaya tidak terciptanya konflik internal maupun external.
Peran pemerintah di
sini
bukan hanya membuka lapangan perkerjaan sebanyak mungkin. Akan tetapi, pemerintah diharapkan
berperan secara aktif dalam memberi pencerdasan yang ekstra terhadap
perkembangan masyarakat sosial di Minangkabau. Sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa masyarakat Minangkabau pada umumnya memiliki mental tersendiri
untuk menyelesaikan ketertekanannya.
Nah,
pemerintah harus tahu apa-apa saja yang
menjadi permasalahan yang ada didalamnya.
Sebab itu merupakan tanggung jawab terbesar bagi seorang
pemimpin. Lain halnya konflik yang berasal dari kritikan dalam lingkungan Adat atau Faham yang mereka yakini sebenarnya. Di sini yang sangat
dibutuhkan adalah sosok seorang janang
sebagai alat untuk menjembatani yang berkaitan dengan tata cara ini. Menurut
saya janang yang tepat adalah seorang
pemimpin yang memliki figur seperti pemimpin tertinggi dalam tataran birokrat, seperti untuk di Sumatra
Barat, misalnya Gubenur yang
menentukan kemana arah yang terbaik dalam menyatukan atau mempersaudarakan
masyarakat sosial seperti ini.
Persebaran Nagari di
Minangkabau mencerminkan suatu bentuk dinamika secara nyata. Identitas dalam
Nagari mencerminkan sebagaimana mereka bertingkah menyampaikan rasa
penghambaannya kepada Sang Khaliq Allah Azza Wajalla.
Banyak cara untuk mengungkapkan
rasa cinta dan tunduk kepada Tuhannya yang menyatukan mereka dalam tali
persaudaraan (Ukwah Islamiah).
Terkait dengan permasalahan-permasalahan pemahaman setiap Nagari
memakai mashab kadang cenderung
tidak sama rata. Mereka menganggap bahwa apa-apa yang diyakininya itu
benar-benar bisa untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, itu lah yang terbaik menurut pemikiran sebagian dari kaum adat di
Minangkabau. Misalnya
dalam satu Nagari kita bisa mencontohkan seperti Nagari A telah meng-Adat-kan aliran mashab aliran
nastabandiah, shtatariah, muhammadiyah, yang
sering memancing terjadi konflik disini.
Seperti penetapan tanggal masuknya bulan Rhamadhan, tak ubah seperti di tingkat nasional maupun
tingkat internasional seolah-olah Islam berkembang tidak dalam satu
kepemimpinan.
Kesalahpahaman yang
memancing konflik
bisa mengalir di antara orang asing dalam komunitas adat dalam Nagari tersebut. Kesalahpahaman
terkait permasalahan tatacara penghambaan kepada Sang Khaliq, memang bisa saja
terjadi, bahkan diantara sesama komunitas adat dalam Nagari tersebut. Namun, keadaanya semakin
tampak saat kedua budaya atau faham atau
pemahaman yang sama sekali berbeda saling berhadapan. Tak jarang terjadi
penghinaan, kejengkelan, hingga ledakan kemarahan di atara orang asing saat
mereka berada di titik
ketidaksetujuan tentang apa yang disebut dengan perilaku baik atau faham yang
benar bagi komunitas
adat tertentu antar-Nagari.
Mau tidak mau, yang memiliki peran
penting dalam mengatasi kebudayaan adalah peran para pemimpin. Hanya yang
ditakutkan oleh para aktivis budaya adalah masuknya peran dari bendera politik
ke dalam
ranah sistem adat.
Sebenarnya yang perlu kita pertimbangkan di sini ketika peran itu
berjalan di luar
jalur seperti memberikan pembelajaran korupsi dan politik saling menjatuhkan perlu kita
berantas, kecuali peran dari
pemimpin itu bertujuan untuk mencerdaskan dengan memainkan fungsinya, untuk menciptakan
konsensus yang tepat sesuai dengan harapan masyarakat,
agar terciptanya Ukhwah Islamiah sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadikan
kokohnya adagium adat di Minangkabau yang berbunyi “Adaik basandi syarak, Syarak basandi kitabullah
Al-qur’annurkarim.
Hubungan antar individu yang saling mempengaruhi dalam hal ilmu
pengetahuan pemahaman, sikap dan perilaku disebut interaksi sosial. Interaksi
sosial bisa terjadi apabila tindakan atau perilaku sesorang dapat mempengaruhi,
mengubah, memperbaiki, atau mendorong perilaku, pikiran, perasaan, emosi orang
lain. Begitu juga dengan konsep kepemimpinan yang menanamkan pendekatan sosial
figuritas adalah ujung tombak dari arah kebudayaan. Untuk terciptanya budaya
yang memiliki nilai yang tinggi kita perlu
melahirkan kader-kader yang luar biasa untuk pemimpin demi kemajuan pola pikir masyarakat budaya di ranah bundo kanduang ini, yaitu dengan cara melakukan pencerdasan terhadap
pendidikan serta memperbaiki kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah
atas. Dalam kerangka tujuan untuk mengatasi mental bloking yang
merajai alam bawah sadar masyarakat budaya
masa kini.
[1] Bibit konflik berarti
awal permasalahan yang timbul dari faktor lingkungan SDA dan SDM dalam
tantangan zaman.
[2] Permasalahan yang
dihadapi yaitu tentang kebutuhan hidup, padahal SDA kita sangatlah kaya,
mungkin yang dibutuhkan keahlian untuk pengolahan atau mendidik mental kita
kembali, untuk membaca suasana sekitar (cepat tanggap dengan alam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar