PENDIDIKAN
DASAR KARAKTER CENDIKIAWAN MINANG
Oleh: Eldo Accarja
Sayang jo anak dilacuti,
sayang jo kampuang tingga-tinggakan.
Hujan ameh di nagari urang,
hujan batu di nagari kito, namun kampuang takana juo.
Satinggi-tinggi tabang bangau, balieknyo ka kubangan juo,
sajauah-jauah marantau, pulangnyo ka kampuang juo.
Kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang-lenggangkan
baok lalu ka saruaso, tanamlah sirieh jo ureknyo.
Anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan
tenggang nagari jan binaso, jago sarato jo adaiknyo.
Minangkabau
seperti yang kita kenal dengan tokoh-tokoh kritisnya, tokoh-tokoh penggerak
perubahan,
baik itu budaya, agama, politik, dan sistim sosial yang ada di ranah Minang. Perubahan-perubahan Nasional
dan Internasional yang menjadi puncak terjadinya revolusi Indonesia pada tahun
1945. Pemikiran-pemikiran cemerlang untuk merobohkan suatu kesalahan atau
kebenaran yang menyimpang mudah sekali diakali oleh penggerak Minangkabau.
Sampai saat sekarang, masih dapat kita rasakan terutama di Nusantara ini. Walaupun
itu cuma
menjadi nostalgia bagi pemuda Minangkabau, ketika disebut bahwa daerahnya
adalah penyumbang terbesar untuk revolusi. Tujuan penulis bukan ke arah itu,
tetapi kita berusaha untuk meninjaunya kembali.
Akhir-akhir ini, banyak pertanyaan,
ocehan yang tidak bisa kita jawab, yang berkaitan dengan syirah budaya Minangkabau, juga yang berkaitan
dengan pendidikan seperti apa kalamnya. Sejarah yang ditulis di Minangkabau memang sangat
minim, namun di Minangkabau mempunyai sejarah-sejarah
yang tersirat dalam
masyarakat. Hal
itu disebabkan oleh tradisi lisan
yang disenangi oleh kaum inetelektual masyarakat
itu sendiri. Tradisi lisan tersebut ada
dalam bentuk kaba, dendang, dan cerita lainya. Secara rasional kita bisa
menganalisa suatu titik kelemahannya.
Fenomena
sekarang banyak sekali yang terlupakan dari dirinya, seperti pituah dari sumber ilmu di Minangkabau
(guru). Kecenderungannya
pada zaman sekarang kita mendapatkan suatu pujian dari luar. Bahwa minangkabau
telah melahirkan tokoh-tokoh terkenal, tokoh-tokoh intelektual. Pujian ini
secara psikologi mempengaruhi otak generasi muda Minangkabau dalam berperan aktif. Kecenderungan ini
mengakibatkan nostalgia berkepanjangan.
Sejarah Minangkabau mencatat secara tersirat di dalam masyarakat, bahwa kebiasaan orang
Minangkabau untuk merantau mempunyai tujuan tersendiri. Selain untuk mencari
nafkah, merantau di Minangkabau bukan hanya untuk mencari pengalaman, dan juga bukan mencari kekayaan. Merantau yang
dimaksud di sini untuk mengasah ketajaman otak setelah melalui beberapa tahapan
pendidikan, yang didapat dari ibu, mamak, datuak, serta buya.
Ada
empat tahapan pendidikan di Minangkabau:
1.
Matan
Matan[1]
merupakan pendidikan dasar untuk anak yang diajarkan oleh mande (ibu) di rumah
gadang dengan cara menghafalkan atau kerap disebut sebagai
“isi”, terutama tentang
sopan santun, hubungan, juga seperti kato
nan ampek (Moral).
Proses selanjutnya cara pengajaran untuk laki-laki dan perempuan sangat jauh
perbedaannya. Peran sang feminis
sangat terasa ketika mengajarkan anak gadih beliau (putrinya) dalam berbagai tatacara. Untuk laki-laki
biasanya mande (ibu) mengajarkan dengan lidih
tujuah halai (lidi tujuh helai). Dengan lidih tujuah halai itu, anaknya diserahkan
kepada buya di surau (guru tarbiayah/murabby), sebagai syarat untuk menuntut
ilmu, sebab matan juga di ajarkan di Surau, dalam
pemaknaannya lidih itu bukan untuk menyiksa putranya, akan tetapi untuk
mengingatkannya bahwa dia telah diserahkan kepada buya. Apapun yang terjadi,
itu sudah di bawah tanggung jawab buya atau sang murabbynya. Intinya, orang tua berharap agar
anaknya dapat dididik supaya
pandai. Baik kasar dan lunak cara yang ditempuh para murabby, semuanya sudah
diikhlaskan oleh orangtuanya.
Bahwa seorang anak laki-laki itu diibaratkan anak yang liar, gigih, serba ingin
tahu, lebih susah daripada mendidik anak perempuan. Dia harus dididik
semaksimal mungkin. Sebab kelak dia akan bertanggungjawab atas keluarganya.
2.
Makna
Makna
merupakan tahapan pendidikan akhil baliq
bagi kaum laki-laki untuk mengenal lingkungan sosialnya. Dalam konteks makna
ini biasanya pelajar yang mendapat ilmu dari rumah Gadang ataupun surau dicoba
dipraktekkan
dengan teman. Pemaknaan terhadap tingkah laku lawan bicara seperti pituah “Alun
takilek lah takalam”.
Ilmu-ilmu pemaknaan ini bertujuan untuk mengasah ketajaman raso (perasaan). Yang menjadi medium pada tingkatan ini adalah
tempat haloqah[2] yang
ada di surau. Haloqah
artinya tempat perguruan atau kelompok-kelompok kecil, biasanya haloqah berada di surau. Surau
sebagai medium utama pendidikan di Minangkabau sangat berfungsi untuk
pengembangan pola pikir.
3.
Hakikat
Pada
tahap pemahaman ini kita telah masuk kepada tingkat pemahaman kepada masyarakat
sosial dan budaya. Kerifan pelajar dituntut di sini, sebab ilmu apa saja yang
selama ini kita dapat menjadi beban sosial di tengah masyarakat. Pengasah
ketajaman telah ditunggu untuk seorang yang bijaksana, baik itu dalam adat
ataupun bersosial dengan lingkungan. Tetapi jangan pernah lupa bahwa orang Minang
itu jika belum beristri berarti belum dianggap ada, sebab gelar kebesaran itu didapat setelah menikah.
Begitu juga perempuan, jika
belum punya suami meskipun
sudah menjadi perawan tua juga tidak bisa dipanggil bundo kanduang. Jadi,
jika belum menikah berarti
belum dianggap, kebijaksanaan
kita pun tidak ada artinya di lingkungan masyarakat. Di sini ketajaman pada makna di
atas, tahapan hakikat ini meningkat kepada kebijaksanaan. Contoh “takilek ikan
di aia alah jaleh jantan batinonyo”,
orang pada level ini sudah bisa diajak barundiang
(berunding).
4.
Makripaik
Makripaik
(makrifat) adalah pemahaman
spiritual tentang keagamaan. Di samping kita telah memperdalam tatacara
bersosial, adaik
(adat), kita juga harus
mendalami ilmu yang satu ini, untuk
mematangkan tiga ilmu
sebelum ini, karena
ilmu tentang kemanusiaan juga diatur.
Pendalaman makrifat ini menjadi suatu kebutuhan
manusiawi, hubungan kita kepada Tuhan.
Manusia pada dasarnya diberi rasa bahwa dia memiliki Tuhan. Pada teori
pembelajaran makrifat ini diajarkan di surau. Semua jawaban tetang alam dan
akhirat bisa dikaji di sini, untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa.
Berdasarkan pengamatan
para peneliti,
di luar Minangkabau banyak yang mengira
bahwa surau dan mesjid itu sama. Anggapan itu sama sekali tidak benar, karena
surau di Minangkabau merupakan suatu tempat mendidik
anak kemanakan di dalam suku atau kaum itu. Setiap
suku biasanya memiliki suraunya
masing-masing. Fungsi utama surau adalah tempat
berhimpunnya satu kaum atau suku di sana
dalam urusan kaum sekaligus tempat pengajian.
Sangat jelas kita lihat ketika suatu kaum malewakan
gala atau mengangkat penghulu. Untuk melewakan gala suatu kaum mereka
memperhelatkan di suatu tempat yang disebut surau.
Surau
di Minangkabau selain sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat
keputusan tertinggi dalam kaum. Memang keputusan itu melalui musyawarah juga,
karena sistem
Minangkabau sangat demokrasi. Keputusan adat atau kebijakan kaum diputuskan di
surau ini. Bisa kita perhatikan
bahwa surau dan mesjid itu berbeda.
Kita dapat melihat bahwa surau itu dimiliki
kaum/suku, sedangkan mesjid itu dimiliki oleh nagari yang lebih besar skopnya.
Mesjid sebagai sentral kebijakan adat dan agama tidak bisa kita pungkiri lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar