Rabu, 26 September 2012

PENDIDIKAN DASAR KARAKTER CENDIKIAWAN MINANG


PENDIDIKAN DASAR KARAKTER CENDIKIAWAN MINANG
Oleh: Eldo Accarja

Sayang jo anak dilacuti,
sayang jo kampuang tingga-tinggakan.

Hujan ameh di nagari urang,
hujan batu di nagari kito, namun kampuang takana juo.

Satinggi-tinggi tabang bangau, balieknyo ka kubangan juo,
sajauah-jauah marantau, pulangnyo ka kampuang juo.

Kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang-lenggangkan
baok lalu ka saruaso, tanamlah sirieh jo ureknyo.
Anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan
tenggang nagari jan binaso, jago sarato jo adaiknyo.

Minangkabau seperti yang kita kenal dengan tokoh-tokoh kritisnya, tokoh-tokoh penggerak perubahan, baik itu budaya, agama, politik, dan sistim sosial yang ada di ranah Minang. Perubahan-perubahan Nasional dan Internasional yang menjadi puncak terjadinya revolusi Indonesia pada tahun 1945. Pemikiran-pemikiran cemerlang untuk merobohkan suatu kesalahan atau kebenaran yang menyimpang mudah sekali diakali oleh penggerak Minangkabau. Sampai saat sekarang, masih dapat kita rasakan terutama di Nusantara ini. Walaupun itu cuma menjadi nostalgia bagi pemuda Minangkabau, ketika disebut bahwa daerahnya adalah penyumbang terbesar untuk revolusi. Tujuan penulis bukan ke arah itu, tetapi kita berusaha untuk meninjaunya kembali.
Akhir-akhir ini, banyak pertanyaan, ocehan yang tidak bisa kita jawab, yang berkaitan dengan syirah budaya Minangkabau, juga yang berkaitan dengan pendidikan seperti apa kalamnya. Sejarah yang ditulis di Minangkabau memang sangat minim, namun di Minangkabau mempunyai sejarah-sejarah yang tersirat dalam masyarakat. Hal itu disebabkan oleh tradisi lisan yang disenangi oleh kaum inetelektual masyarakat itu sendiri. Tradisi lisan tersebut ada dalam bentuk kaba, dendang, dan cerita lainya. Secara rasional kita bisa menganalisa suatu titik kelemahannya.
Fenomena sekarang banyak sekali yang terlupakan dari dirinya, seperti  pituah dari sumber ilmu di Minangkabau (guru). Kecenderungannya pada zaman sekarang kita mendapatkan suatu pujian dari luar. Bahwa minangkabau telah melahirkan tokoh-tokoh terkenal, tokoh-tokoh intelektual. Pujian ini secara psikologi mempengaruhi otak generasi muda Minangkabau dalam berperan aktif. Kecenderungan ini mengakibatkan nostalgia berkepanjangan.  Sejarah Minangkabau mencatat secara tersirat di dalam masyarakat, bahwa kebiasaan orang Minangkabau untuk merantau mempunyai tujuan tersendiri. Selain untuk mencari nafkah, merantau di Minangkabau bukan hanya untuk mencari pengalaman, dan  juga bukan mencari kekayaan. Merantau yang dimaksud di sini untuk mengasah ketajaman otak setelah melalui beberapa tahapan pendidikan, yang didapat dari ibu, mamak, datuak, serta buya.
Ada empat tahapan pendidikan di Minangkabau:
1.      Matan
Matan[1] merupakan pendidikan dasar untuk anak yang diajarkan oleh mande (ibu) di rumah gadang dengan cara menghafalkan atau kerap disebut sebagai “isi”, terutama tentang sopan santun, hubungan, juga seperti kato nan ampek (Moral). Proses selanjutnya cara pengajaran untuk laki-laki dan perempuan sangat jauh perbedaannya. Peran sang feminis sangat terasa ketika mengajarkan anak gadih beliau (putrinya)  dalam berbagai tatacara. Untuk laki-laki biasanya mande (ibu) mengajarkan dengan lidih tujuah halai (lidi tujuh helai). Dengan lidih tujuah halai itu, anaknya diserahkan kepada buya di surau (guru tarbiayah/murabby), sebagai syarat untuk menuntut ilmu, sebab matan juga di ajarkan di Surau, dalam pemaknaannya lidih itu bukan untuk menyiksa putranya, akan tetapi untuk mengingatkannya bahwa dia telah diserahkan kepada buya. Apapun yang terjadi, itu sudah di bawah tanggung jawab buya atau sang murabbynya. Intinya, orang tua berharap agar anaknya dapat dididik supaya pandai. Baik kasar dan lunak cara yang ditempuh para murabby, semuanya sudah diikhlaskan oleh orangtuanya. Bahwa seorang anak laki-laki itu diibaratkan anak yang liar, gigih, serba ingin tahu, lebih susah daripada mendidik anak perempuan. Dia harus dididik semaksimal mungkin. Sebab kelak dia akan bertanggungjawab atas keluarganya.
2.      Makna
Makna merupakan tahapan pendidikan akhil baliq bagi kaum laki-laki untuk mengenal lingkungan sosialnya. Dalam konteks makna ini biasanya pelajar yang mendapat ilmu dari rumah Gadang ataupun surau dicoba dipraktekkan dengan teman. Pemaknaan terhadap tingkah laku lawan bicara seperti pituah “Alun takilek lah takalam. Ilmu-ilmu pemaknaan ini bertujuan untuk mengasah ketajaman raso (perasaan). Yang menjadi medium pada tingkatan ini adalah tempat haloqah[2] yang ada di surau. Haloqah artinya tempat perguruan atau kelompok-kelompok kecil, biasanya haloqah berada di surau. Surau sebagai medium utama pendidikan di Minangkabau sangat berfungsi untuk pengembangan pola pikir.
3.      Hakikat
Pada tahap pemahaman ini kita telah masuk kepada tingkat pemahaman kepada masyarakat sosial dan budaya. Kerifan pelajar dituntut di sini, sebab ilmu apa saja yang selama ini kita dapat menjadi beban sosial di tengah masyarakat. Pengasah ketajaman telah ditunggu untuk seorang yang bijaksana, baik itu dalam adat ataupun bersosial dengan lingkungan. Tetapi jangan pernah lupa bahwa orang Minang itu jika belum beristri berarti belum dianggap ada, sebab gelar kebesaran itu didapat setelah menikah. Begitu juga perempuan, jika belum punya suami meskipun sudah menjadi perawan tua juga tidak bisa dipanggil bundo kanduang. Jadi, jika belum menikah berarti belum dianggap, kebijaksanaan kita pun tidak ada artinya di lingkungan masyarakat. Di sini ketajaman pada makna di atas, tahapan hakikat ini meningkat kepada kebijaksanaan. Contoh “takilek ikan di aia alah jaleh jantan batinonyo”, orang pada level ini sudah bisa diajak barundiang (berunding).
4.      Makripaik
Makripaik (makrifat) adalah pemahaman spiritual tentang keagamaan. Di samping kita telah memperdalam tatacara bersosial, adaik (adat), kita juga harus mendalami ilmu yang satu ini, untuk  mematangkan tiga ilmu sebelum ini, karena ilmu tentang kemanusiaan juga diatur. Pendalaman makrifat ini menjadi suatu kebutuhan manusiawi, hubungan kita kepada Tuhan. Manusia pada dasarnya diberi rasa bahwa dia memiliki Tuhan. Pada teori pembelajaran makrifat ini diajarkan di surau. Semua jawaban tetang alam dan akhirat bisa dikaji di sini, untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa.
Berdasarkan pengamatan para peneliti, di luar Minangkabau banyak yang mengira bahwa surau dan mesjid itu sama. Anggapan itu sama sekali tidak benar, karena surau di Minangkabau merupakan suatu tempat mendidik anak kemanakan di dalam suku atau kaum itu. Setiap suku biasanya memiliki suraunya masing-masing. Fungsi utama surau adalah tempat berhimpunnya satu kaum atau suku di sana dalam urusan kaum sekaligus tempat pengajian. Sangat jelas kita lihat ketika suatu kaum malewakan gala atau mengangkat penghulu. Untuk melewakan gala suatu kaum mereka memperhelatkan di suatu tempat yang disebut surau.
Surau di Minangkabau selain sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat keputusan tertinggi dalam kaum. Memang keputusan itu melalui musyawarah juga, karena sistem Minangkabau sangat demokrasi. Keputusan adat atau kebijakan kaum diputuskan di surau ini. Bisa kita perhatikan bahwa surau dan mesjid itu berbeda. Kita dapat melihat bahwa surau itu dimiliki kaum/suku, sedangkan mesjid itu dimiliki oleh nagari yang lebih besar skopnya. Mesjid sebagai sentral kebijakan adat dan agama tidak bisa kita pungkiri lagi.


[1] Pendidikan dasar dengan metode penghafalan sering disebut sebagai isi, didalam ilmu agama matan disebut sebagai unsur yang usul.
[2] Haloqah berasal dari bahasa Arab yang berarti lingkaran atau kelompok-kelompok pengajian di surau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar