Rabu, 26 September 2012

LAHIRNYA PEMIKIRAN ISLAM DI MINANGKABAU

LAHIRNYA PEMIKIRAN ISLAM DI MINANGKABAU
Oleh: Eldo Accarja

 “Alam Takambang Jadi Guru,” falsafah alam ini yang menjadi suatu rujukan penting di sela paham dan pemikiran yang berbeda di setiap Nagari. Begitu juga dengan musyawarah di Puncak Pato yang menghasilkan nota kesepakatan disebut sebagai hasil keputusan Bai’ah Marapalam. Hasil keputusan Bai’ah Marapalam menghasilkan Undang-Undang Adat Minangkabau yang dipedomani oleh nagari-nagari di seluruh penjuru Minangkabau. Undang-Undang Minangkabau ini di buat rangkap tujuh, dan dipegang oleh Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Bagi pihak lain atau nagari yang membutuhkan sebagai pedoman nagari atau petunjuk aturan adat dan nagari harus menyalinnya. Setiap penyalinan harus menuliskan atau menceritakan dari siapa dia mendapatkannya, sehingga harus dibuktikan sampai kepada Rajo Nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai.
Suatu hasil keputusan Bai’ah Bukik Marapalam mengatur tata cara kepemilikan tanah, pesengketaan dan pemindahan hak atas tanah. Begitu juga tugas dan wewenag kapalo nagari, dan persyaratan petugas pemerintahan nagari, sampai kepada penyelesaian kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan kenyamanan hidup. Semua sudah diatur dalam Undang-Undang Minangkabau dengan cermat sebagai pedoman yang paling tepat menghadapi masalah. Peraturan Undang-Undang Minangkabau masih menimbulkan konflik pemikiran. Tidak sampai di situ saja, Undang-Undang masih menjadi perdebatan, karena masih banyak yang tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Islam. Pada abad ke-16, Islam masuk ke Minangkabau hampir merata, walaupun masih ada sisa-sisa dari kepercayaan Animisme yang masih kental dalam dirinya. Ketimpangan itu menimbulkan kebingungan dua disiplin hukum antara Agama dan Tradisi budaya. Memang Budaya dan Agama secara hukum tidak bisa disamakan. Salah satunya harus ada yang mengalah, karena pertimbangan hukum yang dibawakan budaya bersifat tradisional. Padahal, agama miliki hukum yang dikandungnya bersifat dinamais dan pengikatan mutlak[1] secara pemikiran filsuf,  selayaknya memang harus seperti itu, sebab budaya bersifat tradisional[2] dan fleksibel. Sedangkan agama hukumnya mutlak dari suatu keyakinan. Kembali kepada hukum Islamnya, Islam sebagai agama tauhid, hukum-hukum Islam bersifat natural murni mengatur keselamatan hidup, sosial, dll. Pemikir-pemikir Minangkabau pada masa itu cukup mempengaruhi nilai-nilai kearifan dalam nagari melalui hukum-hukum Islam.
Minangkabau memang masih dalam keadaan penyesuaian, sehingga nagari mengalami goncangan sistem sosial sangat panjang. Goncangan sosial kelembagaan tertinggi di Minangkabau mulai pada abad ke-14 sampai abad ke-19. Pada abad 19 inilah lahirnya pemikiran pembaharuan di Minangkabau. Sampai sekarang ini, transisi kebudayaan masih berlangsung.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam menyebabkan perubahan besar dalam tataran masyarakat secara menyeluruh yang berdampak kepada sosial. kelembagaan nagari mulai merasa kewalahan pada masa ini, kaum adat dan kaum penggerak pembaharuan mengalami konflik yang berkepanjangan selama 18 tahun. Disusul perlawanan terhadap bala tentara kolonial Hindia Belanda, konflik ini berlangsung selama 17 tahun. Pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan fatwa ishlah yang menjadikan dasar untuk pengembangan Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai (ABS, SBK), kemudian dilengkapi dengan Alam Takambang Jadi Guru. Fatwa inilah yang menjadi nilai dasar dalam menata sistem sosial masyarakat Minangkabau. Sumpah Satie Bukit marapalam yang kemudian dikukuhkan, namun nagari-nagari belum merealisasikan secara langsung, karena gerakan ini belum berakhir. Sumpah satie memperkuat pergerakan, komflik perlawanan terhadap bala tentara kolonial berakir pada tahun 1838. Sayangnya, fatwa Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, belum juga sempat  ditekankan dan disatukan secara terpadu dalam suatu dokumen yang sah secara bersama oleh masyarakat Minangkabau. Penyebabnya, Minangkabau juga mengikatkan dirinya sebagai NKRI, di sela perjuangan itu Minangkabau menjadi pelopor utama kemerdekaan serta menyusun undang-undang kenegaraan Republik Indonesia sampai kepada pembentukan Pancasila.
Undang-undang Minangkabau dipelopori oleh Maharajo Sakti dan Dt. Bandaro dan dikukuhkan oleh Tuanku Imam Bonjol dalam Sumpah Satie Bukik Marapalam. Ikatan terhadap nagari bagaikan suatu ikatan emosional saja. Secara umum Minangkabau telah mengukuhkan dalam hatinya, bahwa Minangkabau merupakan kebudayaan yang bersandar kepada syarak, segala kebanaranya terdapat dalam kitabullah (Al-Qur’an).
Sesungguhnya nagari di Minangkabau (Sumatera Barat) seakan sebuah Republik kecil. Ada wilayah (Ulayat/Pusako), ada rakyat (Suku), ada pemerintahan (Sako, Penghulu), ada kedaulatan (Adaik Salingka Nagari), yang memiliki sistem demokrasi murni, pemerintahan sendiri, aset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri (Masoed Abidin, 2009). Untuk mempertahankan nilai agama atau adat sesuai dengan struktur Alim Ulama di Nagari adalah bagian utuh dari tali tigo sapilin, di tingkat Nagari. Majelis Ulama lah yang ada di dalam nagari sebagai suluah bendang sebagai benteng agama di nagari. Ini yang menjadi dasar bagi orang Minangkabau, dalam kearifan budaya beragama dan berbudaya.
Gerakan pembaharuan Islam Minangkabau menuju kepada suatu kekaffahan Islam, terhadap masyarakat yang masih menyimpan nilai animisme, Hindu, dan Buda.  Kenyataan dari gerakan ini bertujuan utuk membudayakan Budaya kepada Islam. Setelah pengukuhan Sumpah Satie Bukik Marapalam yang menjadi revolusi kebudayaan Minangkabau menjadikan kebudayaan Al-Qur’an yaitu budaya keselamatan (Islam) sebagai budaya alam Minangkabau, bukan budaya Tradisi, Budaya Arab, Hindu, Buda, POP, dan atau Aceh. Di samping itu kesenyawaan Islam di Minangkabau sampai sekarang ini disebabkan karena Minangkabau memiliki falsafah adat Alam Takambang Jadi Guru, maka terciptalah hubungan yang harmonis dengan Islam. Sebab, Islam berkembang dengan natural dari sistem sosialnya. Islam berkembang melalui kesadaran budaya itu sendiri.
Tidak heran lagi kalau kita melihat perkembangan kemauan masyarakat Minangkabau untuk mengenal Islam lebih dekat, dikarenakan kebutuhan nurani. Ilmu yang semakin mengalami ketimpangan  terhadap nurani, mengakibatkan percepatan terhadap pemikiran kritis di lingkungan sosial. Untuk perkembangan pemikiran tidak hanya Islam, tetapi pemikiran bebas juga meningkat mengiringi kesadaran sosial manusia. Dalam memperbaiki struktur adat di Minangkabau, ada yang perlu menjadi catatan penting bagi kita. Tatacara manusiawi orang Minangkabau yaitu raso jo pareso (rasa dan persaan). Raso dibaok naiak, aka dibaok turun. Itu yang menjadi konsep berpikir yang melekat dalam diri orang Minangkabau.
Dalam perjalanan panjang budaya ini, orang Minangkabau masih berusaha mencari tahu sejarahnya yang ditelan masa. Pencarian itu menemukan dua simpang yang menjadi pilihan. Pertama, menjadikan tradisi sebagai budaya. Atau kedua, menjadikan Islam sebagai badaya. Yang pastinya untuk ber-Islam harus menjalankan hukum-hukum Islam secara kaffah.



[1] Agama memiliki pengikatan hukum yang mutlak, nilai hukum bersifat dinamis karena masuknya Islam ke Minangkabau tidak secara kafah, Islam masuk dengan bertahap melalaui tradisi budaya menuju kesempurnaan hukum secara islam.
[2] Hukum secara tradisional tentu harus tetap dengan kebiasaan atau tardisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar