LAHIRNYA
PEMIKIRAN ISLAM DI MINANGKABAU
Oleh:
Eldo Accarja
“Alam Takambang Jadi Guru,” falsafah alam ini
yang menjadi suatu rujukan penting di sela paham
dan pemikiran yang berbeda di setiap Nagari.
Begitu juga dengan musyawarah di Puncak Pato yang menghasilkan
nota kesepakatan disebut sebagai hasil keputusan Bai’ah Marapalam. Hasil
keputusan Bai’ah Marapalam
menghasilkan Undang-Undang Adat Minangkabau yang dipedomani oleh nagari-nagari di seluruh penjuru
Minangkabau. Undang-Undang Minangkabau ini di buat rangkap tujuh, dan dipegang
oleh Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Bagi pihak lain atau
nagari yang membutuhkan sebagai pedoman nagari atau petunjuk aturan adat dan
nagari harus menyalinnya. Setiap penyalinan harus menuliskan atau menceritakan
dari siapa dia mendapatkannya, sehingga harus dibuktikan sampai kepada
Rajo Nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai.
Suatu hasil
keputusan Bai’ah Bukik Marapalam mengatur tata cara kepemilikan tanah,
pesengketaan dan pemindahan hak atas tanah.
Begitu juga tugas dan wewenag kapalo
nagari, dan persyaratan petugas pemerintahan nagari, sampai kepada
penyelesaian kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan kenyamanan hidup. Semua
sudah diatur dalam Undang-Undang Minangkabau dengan cermat sebagai pedoman yang
paling tepat menghadapi masalah. Peraturan Undang-Undang Minangkabau masih
menimbulkan konflik pemikiran.
Tidak sampai di situ saja, Undang-Undang masih menjadi perdebatan,
karena masih banyak yang tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Islam.
Pada abad ke-16, Islam masuk ke
Minangkabau hampir merata, walaupun masih ada sisa-sisa dari kepercayaan
Animisme yang masih kental dalam dirinya. Ketimpangan itu menimbulkan
kebingungan dua disiplin hukum antara Agama dan Tradisi budaya. Memang Budaya dan
Agama secara hukum tidak bisa disamakan.
Salah satunya harus ada yang mengalah, karena pertimbangan hukum
yang dibawakan budaya bersifat tradisional.
Padahal, agama miliki hukum yang dikandungnya bersifat
dinamais dan pengikatan mutlak[1] secara
pemikiran filsuf, selayaknya memang harus seperti itu, sebab
budaya bersifat tradisional[2]
dan fleksibel. Sedangkan agama hukumnya mutlak dari suatu keyakinan. Kembali
kepada hukum Islamnya, Islam sebagai agama tauhid, hukum-hukum Islam bersifat
natural murni mengatur keselamatan hidup, sosial, dll. Pemikir-pemikir
Minangkabau pada masa itu cukup mempengaruhi nilai-nilai kearifan dalam nagari
melalui hukum-hukum Islam.
Minangkabau
memang masih dalam keadaan penyesuaian, sehingga nagari mengalami goncangan
sistem sosial sangat panjang. Goncangan sosial kelembagaan tertinggi di
Minangkabau mulai pada abad ke-14 sampai abad ke-19. Pada abad 19 inilah
lahirnya pemikiran pembaharuan di Minangkabau.
Sampai sekarang ini,
transisi kebudayaan masih berlangsung.
Pemikiran-pemikiran
pembaharuan Islam menyebabkan perubahan besar dalam tataran masyarakat secara
menyeluruh yang berdampak kepada sosial. kelembagaan nagari mulai merasa
kewalahan pada masa ini, kaum adat dan kaum penggerak pembaharuan mengalami konflik yang
berkepanjangan selama 18 tahun. Disusul perlawanan terhadap bala tentara kolonial
Hindia Belanda, konflik
ini berlangsung selama 17 tahun. Pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan
fatwa ishlah yang menjadikan dasar
untuk pengembangan Ajaran Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai (ABS, SBK), kemudian dilengkapi
dengan Alam Takambang Jadi Guru. Fatwa
inilah yang menjadi nilai dasar dalam menata sistem sosial masyarakat Minangkabau. Sumpah Satie Bukit marapalam yang kemudian dikukuhkan,
namun nagari-nagari belum
merealisasikan secara langsung, karena gerakan ini belum berakhir. Sumpah satie
memperkuat pergerakan, komflik
perlawanan terhadap bala tentara kolonial berakir pada tahun 1838. Sayangnya, fatwa Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, belum juga sempat ditekankan dan disatukan secara terpadu dalam
suatu dokumen yang sah secara bersama oleh masyarakat Minangkabau. Penyebabnya, Minangkabau
juga mengikatkan dirinya sebagai NKRI, di sela perjuangan itu
Minangkabau menjadi pelopor utama kemerdekaan serta menyusun undang-undang
kenegaraan Republik Indonesia sampai kepada pembentukan Pancasila.
Undang-undang
Minangkabau dipelopori oleh Maharajo Sakti dan Dt. Bandaro dan dikukuhkan oleh Tuanku
Imam Bonjol dalam Sumpah Satie Bukik Marapalam. Ikatan terhadap nagari bagaikan
suatu ikatan emosional saja. Secara umum Minangkabau telah mengukuhkan dalam
hatinya, bahwa Minangkabau
merupakan kebudayaan yang bersandar kepada syarak, segala kebanaranya terdapat
dalam kitabullah (Al-Qur’an).
Sesungguhnya nagari di
Minangkabau (Sumatera Barat) seakan sebuah Republik kecil. Ada wilayah
(Ulayat/Pusako), ada rakyat (Suku), ada pemerintahan (Sako, Penghulu), ada
kedaulatan (Adaik Salingka Nagari), yang memiliki sistem demokrasi murni,
pemerintahan sendiri, aset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat
sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri (Masoed Abidin, 2009). Untuk mempertahankan
nilai agama atau adat
sesuai dengan struktur Alim Ulama di Nagari adalah bagian utuh dari tali tigo sapilin, di tingkat Nagari.
Majelis Ulama lah yang ada di
dalam
nagari sebagai suluah bendang sebagai
benteng agama di nagari.
Ini yang menjadi dasar bagi orang Minangkabau, dalam kearifan budaya beragama dan berbudaya.
Gerakan
pembaharuan Islam Minangkabau menuju kepada suatu kekaffahan Islam, terhadap
masyarakat yang masih menyimpan nilai animisme, Hindu, dan Buda. Kenyataan dari gerakan ini bertujuan utuk
membudayakan Budaya kepada Islam. Setelah pengukuhan Sumpah Satie Bukik
Marapalam yang menjadi revolusi kebudayaan Minangkabau menjadikan kebudayaan
Al-Qur’an yaitu budaya keselamatan (Islam) sebagai budaya alam Minangkabau,
bukan budaya Tradisi, Budaya Arab, Hindu, Buda, POP, dan atau Aceh. Di samping itu kesenyawaan
Islam di Minangkabau sampai sekarang ini disebabkan
karena Minangkabau memiliki falsafah adat Alam Takambang Jadi Guru, maka
terciptalah hubungan yang harmonis dengan Islam. Sebab, Islam berkembang dengan
natural dari sistem
sosialnya. Islam berkembang melalui kesadaran budaya itu sendiri.
Tidak heran lagi
kalau kita melihat perkembangan kemauan masyarakat Minangkabau untuk mengenal
Islam lebih dekat, dikarenakan kebutuhan nurani. Ilmu yang semakin mengalami
ketimpangan terhadap nurani,
mengakibatkan percepatan terhadap pemikiran kritis di lingkungan sosial.
Untuk perkembangan pemikiran tidak hanya Islam, tetapi pemikiran bebas juga
meningkat mengiringi kesadaran sosial manusia. Dalam memperbaiki struktur adat
di Minangkabau,
ada yang perlu menjadi catatan penting bagi kita.
Tatacara manusiawi orang Minangkabau yaitu raso jo pareso (rasa dan persaan). Raso dibaok
naiak, aka dibaok turun. Itu yang menjadi konsep
berpikir yang melekat dalam
diri orang Minangkabau.
Dalam perjalanan
panjang budaya ini, orang Minangkabau masih berusaha mencari tahu sejarahnya
yang ditelan masa. Pencarian itu menemukan dua simpang yang menjadi pilihan. Pertama, menjadikan tradisi
sebagai budaya.
Atau kedua, menjadikan Islam sebagai
badaya. Yang pastinya untuk ber-Islam harus menjalankan hukum-hukum Islam secara
kaffah.
[1] Agama memiliki pengikatan
hukum yang mutlak, nilai hukum bersifat dinamis karena masuknya Islam ke
Minangkabau tidak secara kafah, Islam masuk dengan bertahap melalaui tradisi budaya
menuju kesempurnaan hukum secara islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar