MATRILINEAL MINANGKABAU
Oleh:
Eldo Accarja
Matrilineal
Minangkabau merupakan hasil pemikiran filsafat ilmu yang di wariskan niniak muyang (nenek moyang) orang
Minangkabau oleh filsuf Dt. Katumangguangan
dan Dt. Parapatiah nan Sabatang. Mereka seibu yang berbeda ayah. Pola konsep
kepemimpinannya
juga berbeda. Dalam renungannya mereka mengonsep struktur sosial Minangkabau hingga
memberikan warna terhadap pemikir-pemikir muda. Hasil pemikiran niniak
muyangnya masih menjadi keraguan bagi pemikir-pemikir muda. Perlu kita sadari
bahwa dasar pemikiran niniak yang berdua itu tidak terlepas dari kesadaran pada
alam takambang jadi guru, tidak lari
dari alua jo nan patuik. Islam
mengajarkan untuk menuntut ilmu,
membaca, berpikir
dan berhitung (batu batikam
= distorsi sejarah oleh
Islam dalam mengembangkan ajaran Islam).
Hukum
Islam yang difirmankan Allah dan Rasulnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sesungguhnya menerangkan
bahwa Islam bernashab ke-Bapak,
begitu juga dalam adat Minangkabau. Sesuai dengan ketentuan adat dalam
pernikahan, sangat jelas bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa menjadi wali nasab selain
garis keturunan dari bapaknya. Tanggung jawab mutlak seorang Ayah tidak bisa
ditawar baik dunia maupun akhirat, ajaran adat mengatakan bahwa ayah bertanggung
jawab atas anaknya yang dituahkan dalam falsafah adat dengan ungkapan anak dipangku
sedangkan makna kamanakan dibimbiang
berarti suatu tanggung jawab besar untuk mendidik generasi.
Adat
Minangkabau sangat kokoh yang menetapkan laki-laki sebagai seorang pemimpin
bagi anak, kamanakan, istri, dan lingkungan sosial secara luas. Syarak manyatakan falsafah adat ini dalam Al-Qur’an
(QS. An-Nisa ayat 34), adat di Minangkabau
tidak melanggar hukum syarak. Aplikasi
ini bisa kita temui ketika pengangkatan penghulu salah satu syarat manjadi pangulu (penghulu) adalah Laki-laki nan baliqh
jo baraka lalu
sifat penghulu adalah sifat Rasulullah
SAW (Siddik, Amanah, Tabliq, Fathonah). Tidak perlu di perdebatkan dalam
membahas adat jo syarak. Kecuali
adat jo syarak kok bacarai, inilah
yang perlu kita kokohkan sebab adat
dan syarak sandar menyadar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Perdebatan bukanlah
sifat orang Minang,
sebab perdebatan akan mengundang perpecahan.
Untuk
mengkaji sistem
masyarakat di Minangkabau yang berdasarkan
garis
keturunan ibu,
orang-orang akademis memberi suatu istilah yaitu Matrilineal untuk mempermudah pemaknaannya terhadap garis keturunan
ibu ini. Matrilineal berasal
dari kata ‘matri’ artinya (ibu) dan ‘lineal’ (garis). Jadi, berarti ‘garis ibu’. Maksudnya adalah istilah untuk
menyebutkan sistem kekerabatan yang mengacu pada garis keturunan ibu.
Di
Minangkabau sistem kekerabatan tentunya merupakan penjabaran ajaran syarak
Habluminannas,
dan merupakan formulasi untuk menyikapi fitrah Allah SWT yang menjadikan
manusia berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa. Dalam penyempurnaan penyikapan atas
fitrah dan sekaligus implementasi dari ajaran syarak hablumminannas, maka
selain hubungan-hubungan yang wajib dijaga menurut ajaran Islam, nenek moyang
orang Minangkabau menyempurnakan kekerabatan dengan merefleksikan hubungan
menurut garis keturunan ibu, yakni
sebagai berikut; Hubungan
antara Ibu dan Anak;
Bapak dan Anak;
Hubungan kekerabatan Mamak jo Kamanakan;
Hubungan kekerabatan Suku jo Sako;
Hubungan kekerabatan Induak Bako jo Anak Pisang; Hubungan kekerabatan Andan Pasumandan; dll.
Hukum
waris dalam Islam telah diterapkan dalam Adat Minangkabau, bahkan hukum waris
secara Islam ini yang
menjadi roh sesungguhnya dalam merumuskan sistem harta kekayaan, seperti
ketentuan: Jan kan sawah jo ladang, rimbo
jo rumah gadang, nan diri kito sandiri bukanlah kito nan punyo. Inilah
ajaran dasar dari setiap persoalan harta dan kekayaan di Alam Minangkabau.
Dalam pemahaman adat Minangkabau amanah adalah tanggung jawab
yang amat berat, seluruh rahmat dan karunia
wajib dipertanggungjawakan baik di
dunia
maupun akhirat.
Harta
dan warisan dalam ajaran adat Alam Minangkabau tidak mengenal adanya hak milik. Sebab yang berhak memiliki
hanyalah Allah SWT,
dan Adat Minangkabau
telah merumuskan hak
Peruntukan pada perempuan
dan
Hak Pengelolaan (kepemimpinan) pada para lelaki. Jadi, dari segi sistem adat tidak ada
melanggar apa yang dikatakan oleh syarak. Begitu juga dengan aturan yang
berdasarkan Nasab Ayah (Istilah Dunsanak), Islam tidak ada mengusik ketentuan
adat. Justeru Pusaka Tinggi dan
Pusaka Rendah adalah suatu kearifan tersendiri bagi Adat Minangkabau. Harta Pusaka Rendah,
adalah harta pencarian, semua diatur sepenuhnya menurut ketentuan Syarak. Pengelompokan hukum adat
harta Pusaka Tinggi sampai saat ini masih menjadi perdebatan kekuasaan, banyak yang
beranggapan harato pusako (harta pusaka) tinggi tidak
ada dalam aturan Islam atau penempatannya
tidak sesuai dengan ajaran syarak.
Perlu kita ketahui,
bahwa orang Minangkabau telah mengakui harato pusako tinggi
adalah harta yang tidak bertuan,
tidak jelas asal usulnya. Itu
sebabnya harta pusaka tinggi diwariskan melalui garis keturunan ibu yang
sebagai umbun puruk pagangan kunci. Seandainya harta ini diwariskan
kepada kaum laki-laki pasti akan mengalami dampak kekacauan. Sewaktu kecil dia
tinggal bersama orang tuanya setelah menikah harta ini dibagi dan dibawa kepada
keluarganya maka kesejahteraan kepada semua unsur mengalami kekacauan.
Pandangan
dari sekularisme, atau kacamata materialisme dan kapitalisme yang jahiliyah,
telah menghancurkan pandangan mendasar dalam ber-Adat di Minangkabau. Melihat sistem Adat dan Syarak yang
tertata rapih yang disusun secara hati nurani. Pemikiran sekularisme mulai menjajah Minangkabau serta memberikan kebimbangan
untuk menafsirkan Adat yang sempurna ini.
Seandainya masyarakat berbudaya masih memaknai Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah yang bisa digunakan untuk memahami karakter umum penjajah baik
fisik atau non fisik,
yang bisa juga disebut sebagai ideologi
penjajah, sudah pasti Adat dilindungi dengan tuah kato dari syarak yang bersandi kepada Al-Qur’an.
Kerifan
Islam mengajarkan sistem
demokrasi yang baik tidak mengenal
aposisi. Kearifanlah yang
diterapkan dalam adat Minangkabau yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunah
sistem
demokrasi di Minangkabau bisa kita amati,
ketika mengambil suatu keputusan atau mencari kata sepakat mereka harus mencapai
titik kok bulek dapek digolekan pipiah
dapek dilayangkan. Dalam
mufakat tidak semua pendapat itu sama.
Tetap ada perbedaan pendapat, tetapi mereka tidak
melakukan perdebatan, mereka lebih cenderung
menghargai pendapat orang lain daripada memaksakan pendapatnya. Ketika hasil kesepakatan
memenuhi syarat kesepakatan maka yang bebeda pendapat pun ikut dalam menggolongkan kebulatan kata
(menjalankan kesepakatan), Ikut melayangkan hasil yang disepakati (menyampaikan).
Alim
ulama sebagai suluah bendang dalam nagari
mengadung banyak arti. Yang disebut sebagai
ulama dalam nagari adalah orang yang beradat paham dengan agama. Begitu juga orang ‘beradat’ disebut sebagai orang
yang beragama paham
dengan adat. Pemahaman ulama yang pernah mendebat adat seperti Buya Hamka, dahulunya menentang
matrilineal. Akan tetapi,
ketika kajiannya tentang Adat Alam Minangkabau makin dalam, Hamka berkata “ternyata saya telah
salah kaprah memahaminya”.
Ternyata tak ada yang tidak berdasarkan aqidah Islam dalam rumusan ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah itu. Semenjak
itu, Buya Hamka berdiri di
barisan paling depan dalam membela ABS SBK.
Lengkaplah kebanggannya sebagai seorang Hamka Dt. Indomo.
Lalu,
bukankah Rasulullah telah bersabda,
“Kamu lebih tahu urusan duniamu”.
Dan ijmak para ulama (orang yang alim) adalah ketentuan
yang legal dalam syarak.
Kemaslahatan yang ditawarkan dalam Sistem Harta Pusaka Rendah dan
Pusaka Tinggi juga
sangat Islami dan lebih manusiawi.
Mudah-mudahan
berkenan dan bermanfaat bagi dunsanak.
Hmmm... pembelaan yang terlalu mengada-ngada. Kalau memang matrilineal bermaksud menyempurnakan konsep Patrilineal yg dianjurkan Islam, berarti "ada tuduhan bahwa ajaran Islam belum sempurna" dan, kalaupun iya demikian, kenapa pernikahan "Bako" dengan anak mamak atau kemenakan ayah dibolehkan bahkan ada sebagian maysarakat mengistilahkannya dengan "kawan Bagluik"?
BalasHapusDuwh.. gimana ya... sayangnya saudara tak baca. gimana klo dibaca lagi ^^
BalasHapusBanyak mudharat ketimbang manfaatnya, matrilinial bukan pemikiran dan tuntunan dari Islam karena tidak ada fakta dan dalil yg jelas kalo itu memang ajaran dari Islam, ini Mudharatnya :
BalasHapus1. meninggikan kaum hawa dan merendahkan kaum Adam padahal seharusnya ada hak2 yg mereka dapatkan ,tidak sesuai dgn ajaran Islam terutama masalah waris, ini pembagian waris yg tepat menurut Islam http://media.isnet.org/islam/Waris/AyatWaris.html
2. Nasab harusnya ikut dgn Bapak sesuai ketentuan dan petunjuk Rasulullah , kalo ikut ke Ibu tidak ada turunan Raja atau Nabi kalaupun ada turunan Raja atau Nabi telah terputus nasabnya karena diambil ke Ibu bukan Bapak http://hujjahaswajah.blogspot.com/2012/12/sebegitu-pentingkah-nasab.html
3. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Hanya kiasan utk menguatkan Matrilinialisme yg hanya menguntungkan pihak2 tertentu, karena tidak ada dalil , hadits atau sunah yg menjelaskan matrilinial ini
Hanya Allah yang tau kebenaranya,
BalasHapussaya sependapat dengan Anonim.
BalasHapusSedih .sy membaca tulisan Eldo, dan seperti tulisan beberapa org lainnya yg hanya melakukan pembelaan tanpa dasar yg jelas.
BalasHapusBanyak org minang skr sudah sadar, smoga anda juga nantinya
Masalah nya cuma pada harta pusako tinggi
HapusMisteri tentang siapa sesungguhnya Bundo Kanduang akhrnya terkuak juga...
BalasHapusSurau berasal dari phonetic spelling kata Ibrani “sawraw” yang mengacu pada Sarah, istri Nabi Ibrahim AS atau ibu dari Nabi Ishak AS.
Oleh karena itu, dari segi studi linguistik dapat disimpulkan bahwa kata surau lazim digunakan oleh keturunan Bani Ishak, paman moyang bangsa Arab.
Al Quran menyebutkan Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri yakni Siti Sarah yang melahirkan Nabi Ishak AS dan Siti Hajar yang melahirkan Nabi Ismail AS.
Baca selanjutnya: http://www.surau.net/wp/definisi-surau/
Adat apaan nih.. Terlalu mengada ada.. sok islami padahal bukan Islam.. Lebih baik jadikan Agama landasan hidup.. Jgn jadikan adat sbg pedoman.. Adat bisa saja sesat dan cacat krna dibuat oleh manusia antah barantah
BalasHapus